Bagian tanpa judul 32

2.7K 309 24
                                    

Dylan tersenyum sayu, menyelipkan rambutku di belakang daun telingaku. "Emang Adiba belum kenal Dylan ya?"

"I wanna know more of you. All of you. Not just some parts that you chose to reveal." kataku tegas. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini, juga tak ingin dia berpindah topik.

"Iya gitu? Emang Adiba mau tau apa?" sungguh, kali ini Dylan benar-benar berusaha untuk mencairkan hatiku dan membuatku lupa akan tujuanku. Dia berbicara selembut mungkin, tidak hanya nada suaranya, tatapan matanya pun begitu. Dia menatap mataku secara langsung, seperti berusaha untuk membuatku salah tingkah agar aku kehilangan fokus. Dia memiliki banyak cara untuk menghindar dari sebuah kejelasan.

Aku menyentuh lehernya dengan tanganku, memberitahukannya secara tidak langsung bahwa aku menginginkannya dengan semua cerita yang ada di hidupnya dan aku tidak akan luruh dengan tipuan mata dan suaranya itu. "Apa yang sudah dilakukan Mrs. Mckenzy ke kamu, Dylan?"

Dia terdiam, tersenyum. "If i show you all of my scars, will you run away? Or do I gotta hide it all so you wanna stay?" itu yang dikatakannya, serasa menyayat hatiku. Aku mengelus pipinya dengan ibu jariku, lehernya terasa hangat. "Dylan, there is nothing in this whole world take can take me out of you." jelasku.

Dylan bangun dari tidurnya, melepaskan bajunya.

Selama ini, di balik pakaian yang dikenakannya, di atas kulitnya yang sedikit lebih cerah dibanding bagian tangannya, terdapat banyak bekas luka. Aku ikut duduk di sampingnya, bingung harus fokus ke bekas luka yang mana. Ada bekas jahitan di bagian rusuknya, sisa lebam di beberapa bagian lainnya, dan luka cakaran. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Ini kenapa?" aku menunjuk bekas jahitan di tubuhnya, sepanjang 7 cm.

Dia tersenyum, "Kecelakaan mobil." jawabnya singkat masih sambil tersenyum. Namun aku merasa senyumannya terasa sakit, mengiris hatiku lebih dalam. Itu bukan senyuman yang biasanya dia berikan padaku. Aku memegang kedua pipinya, membuatnya menatapku "Dylan, aku mau kamu jujur. Aku gak mau kamu nyimpan rahasia apapun dari aku. Please Dylan, I need you." mohonku. "Di hari yang sama aku kehilangan orang-orang yang aku cintai. Dan juga, hari itu, orientasi seksualku diketahui oleh keluargaku. Pertama kalinya aku dipukul." aku terdiam. Napasku terasa berat, mataku terasa perih, aku bisa merasakannya. Ku topang wajahku dengan tanganku lalu aku mulai menangis. Dylan memelukku, mengelus punggungku, berusaha menenangkanku yang tak tahu malu karena telah menjadi sangat lemah. Menangisi apa yang telah dilalui Dylan, di saat Dylan sendiri berusaha tersenyum untuk menyembunyikan itu semua. "It's not hurt anymore, babe. Lukanya sudah sembuh." begitu katanya. Aku menghapus air mataku, berusaha untuk terlihat kuat di hadapannya juga.

Setelah berusaha mengatur napas selama hampir 2 menit, aku kembali menunjuk salah satu lebam di tubuhnya, tidak terlihat baru karena warnanya sudah mulai pudar.

"My mom. Aku nolak minum obat yang dia kasih ke aku." akunya. Aku menarik napasku yang masih terasa berat, benar apa yang dikatakan Papa. "Kapan?" tanyaku. "Hari terakhir kita di Bandung." aku tertegun. Spontan aku teringat percakapanku dengan Mang Man, supir Dylan yang mengantar kami ke bandara. Saat itu Dylan sedang tertidur, aku yang seperti biasa selalu memperhatikannya dalam diam mendapat teguran dari Mang Man, katanya Dylan tertidur karena dia mengonsumsi obat-obatan sebelum berangkat. "Sejak kapan kamu selalu dipaksa minum obat-obatan kaya gitu?"

"Sejak mereka cerai. Mom lives in different place. I came to her cause I know she's my mom and I shouldn't hurt her that way." jelasnya yang kini tidak lagi memalsukan senyumannya di depanku. "Kamu selalu minum obatnya?" tanyaku yang mulai merasa mataku membengkak. Dylan menggeleng.

"Kenapa baru sekarang kamu ngelawannya?"

Dylan tersenyum, "Karena aku baru nemu kamu. Your poison is much stronger than those drugs."

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang