Musim dingin terasa aneh. Bahkan lebih aneh dibanding tahun pertamaku merasakannya. Musim dingin tahun ini terasa lebih dingin, sepi, dan sendu. Bagaimana dengan Dylan? Oh, jangan bertanya, dia lebih dingin dibanding musim dingin.
Sejak kejadian itu, dia tidak lagi pernah masuk ke dalam kehidupanku. Di sekolah, dia menjadi seseorang yang kembali asing untukku. Tidak ada sapaan atau tatapan mata yang diberikannya padaku, dia sama seperti orang lain yang berperilaku biasa saja di saat dirinya menghilang dari sekolah selama seminggu. Bedanya, kali ini dia hadir di sekolah, dia hanya menghilang dari kehidupanku dan berperilaku seperti tidak ada hal apapun yang terjadi atau yang pernah terjadi di antara kami.
Perbedaan sikap yang dilakukannya membuatku tersiksa. Aku bahkan tidak lagi berani menengok secara terang-terangan ke arah deretan kursi belakang hanya untuk mengecek keadaannya seperti yang sering ku lakukan dulu. Membayangkan wajah datar dan tatapan "apa yang kamu lihat?" nya sudah cukup untuk menciutkan nyali ku. Hal yang sama juga terjadi ketika kita berpas-pasan di koridor sekolah, tidak ada tatapan mata, aku canggung seakan kakiku mengatakan untuk berbelok ke arah yang lain saja, entah apa yang ku khawatirkan. Tetapi mencium aroma tubuhnya dari jarak hampir 1 meter pun sudah sangat ku syukuri.
Tahu apa yang membuat Dylan lebih hebat dibanding para penghancur hati lainnya? Dia tidak perlu mencoba untuk melakukannya, memikirkannya pun tidak, tetapi dia melakukannya. Dengan sangat baik.
Hari terakhir sebelum liburan natal dan tahun baru, ku lihat Anne bertengger di depan kelasku. Anne Decklora, siswi berdarah latin tingkat akhir sekaligus terseksi, terpopular, dan tentu saja hampir 90% pria di sekolahku menginginkannya di ranjang mereka. Pada saat jam pelajaran berakhir, ku lihat dia mengait lengan Dylan dengan tangannya. Entah apa maksudnya, entah mengapa terjadi hal seperti itu.
Apa Dylan benar-benar kembali ke dalam pelukannya secepat itu?
Apa Dylan tidak merasa sedih atau menyesal karena hubungan kami, yang entah apapun itu namanya, telah berakhir?
Apa Dylan memang benar-benar mati rasa?
Hal itu terus merusak pikiranku, hingga akhirnya ku putuskan untuk mengirimi Dylan sebuah pesan singkat tepat setelah ku selesaikan makan malam ku di rumah.
"Secepat itu?"
Ku hentikan ibu jariku, sialan Dylan. "Kamu memang tipe orang yang suka berpindah hati secepat itu? Murahan banget sih!" Tidak, tidak. Ku hapus 3 kata terakhir.
"Secepat itu?
Kamu memang tipe orang yang suka berpindah hati secepat itu? Or it is just me who still loving you like an idiot? God damn Dylan, just back to me!"
Aku terdiam membaca kalimat yang baru saja ku ketik. Aku tidak boleh terlihat lemah, dan meminta-minta layaknya seorang pengemis kepada Dylan. Ku hapus 2 kalimat terakhir.
Kembali ke kalimat "Secepat itu?
Kamu memang tipe orang yang suka berpindah hati secepat itu?" aku terdiam, membacanya puluhan kali sambil memikirkan bagaimana reaksinya ketika membaca pesanku. 25 menit kemudian, ku kirimkan pesannya. Tepat ketika pesanku terkirim, secara spontan ku lemparkan handphone ku ke bawah bantal. Menyadari betapa besar masalah dan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh pesan ku itu.
Kepalaku terasa panas, yang ada di otak ku adalah berbagai macam skenario balasan dari Dylan yang terus datang secara bergantian dan bagaimana strategi ku untuk bereaksi kembali terhadap reaksinya. Sial, ternyata ini semua lebih rumit dibanding reaksi kimia yang kami pelajari di sekolah.
15 menit kemudian, suara mesin mobil yang familiar terdengar dan berhenti tepat di depan rumahku. Dari jendela kamar, aku mengintip keluar. Mobil berwarna hitam, dan familiar. Seketika aku panik. Ku ambil handphone ku dari bawah bantal, dua buah centang berwarna biru. Dylan telah membaca pesanku. Dan sekarang mobilnya berada di depan rumahku, entah apakah itu hanya orang-orangnya yang datang untuk menculikku atau menghilangkan ku dari muka bumi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masochist (gxg)
RomanceTidak peduli apa yang telah dia katakan padaku. Tidak peduli apa yang telah dia lakukan padaku. Yang ku tahu hanyalah, aku menginginkannya terus begitu. Aku, tidak ingin dia berhenti. [Cerita Lanjutan dari Is It a Wrong Love]