Bagian tanpa judul 25

3.3K 307 3
                                    

"Dylan pacarnya cantik".
Sial! Kata-kata itu terus yang terngiang di kepalaku.

Dylan berpacaran.
Dengan seorang wanita.
Dan cantik.
Siapa?
Rezka?

Tapi katanya mereka hanya sebatas sahabat.

Tapi Rezka juga sensitif ketika aku dekat dengan Dylan. Seperti Sika.

What the hell is happening, Dylan?

Kamu dimana?

Anak itu, ah sial!

Kenapa otakku selalu dengan spontan memikirkannya. Bahkan di saat aku memikirkan hal lain, akan selalu ada pikiran mengenai Dylan yang melintas. Seakan-akan otakku meronta akan asupan oksigen yang kini telah tergantikan oleh Dylan.

Sudah hampir 4 hari semejak terakhir kali kami bertemu, dan sejak itu tidak ada lagi kabar darinya. Entah dia masih hidup atau sudah mati.

Apakah dia ingat bahwa sekolah akan dimulai dalam beberapa hari lagi?

Tidak inginkah dia pergi bersamaku?

Masih ingatkah dia siapa namaku?

Sial, Dylan, sial!

×××××

Entah bagaimana ceritanya tapi kemarin sore aku mendapat kabar bahwa Dylan dan supirnya akan menjemputku di rumah nenek. Akhirnya aku tau bahwa dia masih hidup dan dia tidak melupakanku.

Hari ini aku dan Dylan akan pergi lagi untuk bersekolah, mengingat musim panas yang telah usai. Seluruh barangku telah terkemas rapi di dalam koper, nenek masih sibuk menjahit pakaiannya yang tidak sobek. Percayalah dia melakukan itu untuk menghindari rasa sedihnya karena akan kembali berpisah denganku yang artinya dia akan kembali sendirian walaupun selalu ada beberapa tetangga yang akan menemaninya sepanjang hari.

Sika duduk di pangkal tangga rumah nenek yang bergaya panggung ini. Cemberut. Dia selalu seperti itu ketika aku akan meninggalkannya, karena dia termasuk anak yang manja dan selalu merindukan hal-hal di sekelilingnya secara berlebihan. Kali ini dia lebih cemberut dan terlihat murung, selain karena dia tidak bisa ikut mengantarku ke bandara tapi juga karena aku akan pergi dengan Dylan. Masih saja dia cemburu.

Aku sudah menghubungi Dylan, mengiriminya sebuah pesan yang menanyakan apakah aku boleh membawa Sika ke bandara bersama ku kemudian dia membalas "Tidak." dengan tanda titik dan hanya 1 kata itu saja. Apa lagi yang bisa ku lakukan?

Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan halaman nenek, dapat ditebak bahwa itu Dylan.

Aku mencium tangan nenek, lalu memeluknya hangat, "Salam ke Dylan" katanya sambil tersenyum padaku lalu kembali melanjutkan jahitannya. Terlihat jelas bahwa ia menyembunyikan air matanya.

Ku angkut koperku, menghampiri Sika. Kali ini dia terisak, menyembunyikan wajahnya dari ku. "Gak mau peluk?" Tanyaku. Dia menyeka air matanya lalu berdiri memelukku erat. "Sika bakal kangen Diba." Katanya dengan suara parau bercampur tangis yang semakin menjadi.

Seorang pria dari kursi kemudi keluar dari mobil, mengangkut koper ku ke bagasi, tak lupa dengan senyum dan sapaan ramahnya pada kami.

"Diba bakal kangen Sika juga. Titip nenek ya." Bisik ku, dia hanya mengangguk. Aku melepaskan pelukannya sadar bahwa kemungkinan Dylan sudah kesal karena menunggu terlalu lama. Aku melambaikan tanganku lalu menuju ke dalam mobil.

Benar saja sudah ada Dylan di kursi penumpang bagian belakang namun dia sedang terlelap dengan earphone terpasang di telinganya. Aku masih memperhatikan rumah nenek, dan dua orang paling berharga di hidupku sampai mereka tak terlihat lagi. Entah kapan aku akan bertemu dengan mereka, yang pasti akan ada rindu besar untuk mereka.

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang