Penghujung musim dingin selalu mendebarkan. Dimana salju yang menutupi permukaan mulai mencair dan warna warni kembali bermunculan dari berbagai macam permukaan yang ditutupinya. Dylan, dia seperti penghujung musim dingin. Menutupi berbagai macam warna dalam kehidupannya, dingin, beku. Namun ketika dia berhasil dicairkan akan terlihat makna dari keberadaannya. Bagaimana tidak? Salju yang mencair menjadi air, si sumber kehidupan. Dylan sama. Keberadaannya berarti untuk segelintir orang yang dikehendakinya. Tidak semua, hanya segelintir karena dia tidak terlalu menyukai manusia lain, kan?
Langkah kakiku tidak lagi meninggalkan jejak di atas salju yang menjadi lebih kompak akibat tekanan berat badanku, kini tiap kali aku melangkah saljunya langsung meleleh menjadi air dan menampakkan permukaan jalan yang berwarna abu-abu. Karbon dioksida yang ku keluarkan tidak lagi berubah menjadi uap, aku tidak perlu memakai pelembab sesering beberapa minggu lalu, dan sinar matahari mulai terasa sedikit menghangatkan terbukti dari naiknya suhu di termometer yang digantung Ibu di dinding ruang makan kami.
Aku sedang berjalan kaki menuju sebuah kedai yang menjual berbagai macam jenis kopi, Ibu yang menyuruhku karena persediaan kopi Bapak sudah habis. Sepanjang perjalananku, aku tidak lagi mendongakkan kepala ku ke atas hanya untuk mengecek keberadaan Dylan. Bukan karena aku sudah melupakan dan menyerah untuk mencarinya. Di musim dingin seperti ini, dia tidak akan sanggup untuk menghabiskan waktunya di roof top, karena dia pasti akan mengalami hipotermia atau bahkan langsung membeku.
Sebuah kedai bernuansa cokelat dengan papan besar bertuliskan “KAHVEH” yang tergantung di atasnya sudah terlihat di ujung blok, aku mempercepat langkahku.
“Merhaba! Halo! Lama tidak berjumpa, Adiba.” sambut Bayram, anak dari pemilik kedai sekaligus teman sekolahku. Perawakannya tinggi, rambut dan mata cokelat, serta hidung mancung khas orang Turki.
“Halo Bayram. Ya ,aku sibuk di dalam rumah, berusaha menjaga suhu tubuhku tetap di atas 35˚C.” jawabku berusaha menyelipkan fakta sains kepada teman sekaligus sainganku di klub sains ini.
“Hahaha, baiklah. Butuh kopi jenis apa? Kami mempunyai kopi baru, diimport langsung dari Mesir. Untuk mu pasti ada potongan khusus,” dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku.
“Ah, tidak. Terima kasih. Aku ambil yang biasa saja, kau kan tahu orang tua ku tidak bisa minum yang aneh-aneh.” Tolakku sambil memberinya beberapa lembar uang yang diberikan Ibu ku tadi.
“Hm ... baiklah. Satu kopi gayo khas Aceh, Indonesia segera datang. Silakan tunggu ya.” dia mempersilakanku untuk duduk di salah satu bangku cafenya. Di kedai ini juga dibuka sebuah cafe agar pelanggan bisa memesan kopi yang sudah jadi tanpa perlu membuatnya sendiri di rumah.
Aku duduk di sebuah kursi dari anyaman rotan yang menghadap langsung ke jalan. Beberapa orang terlihat berjalan-jalan dengan anjingnya dan saling menyapa satu sama lain. Aroma berbagai macam kopi membantuku untuk merasa lebih tenang.
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan kaca kedai, membuatku dapat melihatnya dengan jelas. Dadaku terasa sesak ketika kaca mobilnya diturunkan, memperlihatkan Dylan yang menggunakan beanie berwarna cokelat sedang duduk di kursi penumpang. Dia diam saja, pandangannya menatap lurus ke depan. Dadaku semakin terasa sesak ketika ku lihat Sika duduk di sampingnya. Sika terlihat bahagia, bahkan dia melihatku lalu menjadi agresif seperti biasanya. Senyumnya sangat lebar, dilambai-lambaikannya tangannya ke arahku.
Aku bangkit dari dudukku, lalu menyambar kantong kertas bertuliskan namaku yang baru saja dibawa oleh Bayram. “Terima kasih!” kataku lalu berlari keluar, berusaha menghampiri mobil Dylan walau ku tau mobilnya tidak akan berpindah tempat sebelum Dylan memerintahkannya.
Ku putari mobil tersebut, agar aku dapat duduk persis di samping Sika. Seperdetik kemudian Sika memelukku dengan sangat erat. Dylan, dia masih diam saja. Aku terkejut ketika melihat lebam di tulang pipinya, dan luka di sisi bibirnya. Dia terlihat baik-baik saja dari sisi kanan, namun dia hancur di sisi lainnya. Dia mengangguk ke arah kaca supirnya, memerintahkannya untuk menjalankan mobil.
“Sika, kenapa gak bilang kalau mau ke sini?” tanya ku ke Sika karena dia hampir saja meremukkan tubuhku.
“Harus ngomong dulu emang? Diba gak kangen Sika?” dilepaskannya pelukannya lalu menatap mataku tajam.
“Kangen. Kangen dong. Kenapa Sika di sini? Sama dia?” ku tunjuk Dylan dengan daguku lalu kembali menatap Sika.
“Kenapa emang? Dia kan teman Sika juga.” jawab Sika. Aku hanya mengangguk.
Entah apalagi rencana Dylan, tetapi mobilnya berhenti tepat di depan rumahku. Aku membuka pintu mobilnya, namun tidak ku dengar Dylan memanggil namaku ataupun menahanku bahkan ketika Sika ikut turun bersamaku. Supirnya menurunkan kaca mobilnya dan membuka bagasi. Pria berambut hitam dengan tubuh kekar dan proporsional ini turun dari mobil lalu membantu Sika mengangkat koper-kopernya. Dylan menjemputnya di bandara.
Di luar mobil aku terus menatapnya, bingung. Entah apa yang harus ku lakukan. Dia tidak menoleh atau pun berbicara kepada ku. Tenggorokanku terasa kering, lidah dan rahangku tidak sanggup mengikuti perintah dari otakku, ingin rasanya ku teriakkan “DYLAN KAMU KENAPA, BERENGSEK?” kepadanya namun tidak bisa.
Semua barang telah diturunkan, Sika sudah kembali berdiri di sampingku, dan supirnya sudah kembali ke dalam mobilnya. Sika menarik tanganku, mengajakku untuk masuk karena mungkin dia sudah tidak tahan menahan dingin namun kakiku seperti menyatu dengan semen tempatku berdiri. Aku ingin berdiri seharian di situ, menatap Dylan dalam diam seperti yang selalu ku lakukan selama ini, sekaligus menyadarkan diriku bahwa Dylan mungkin telah berhenti mencintaiku atau bahkan mungkin dia tidak pernah benar-benar mencintaiku.
Mesin mobilnya dinyalakan, Dylan berlalu. Detak jantungku rasanya berhenti ketika mataku menangkap tatapan matanya di detik-detik terakhir pertemuan kami. Matanya berwarna kemerahan, sakit. Ingin rasanya ku selami rasa sakit yang dideritanya namun dia tidak akan mengizinkanku karena dia kembali menjadikan ku orang biasa untuknya.
“Diba, ayo masuk. Dingin,” rengek Sika. Ku bantu ia mengangkut satu kopernya ke dalam rumah. Di dalam, Ibu langsung memeluk Sika begitu juga dengan Bapak. Seketika aku merasa kosong, linglung, bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Bu, Pak, Diba ke kamar ya. Lagi gak enak badan.” kataku yang langsung mengubah ekspresi Ibu dari senang menjadi khawatir, bahkan Sika berhenti tersenyum ketika mendengarku berkata seperti itu. Ibu menghampiriku lalu memegang keningku, “Duh, iya nih badannya hangat. Yaudah kamu naik aja ya, istirahat nanti Ibu antar obatnya.” aku mengangguk mengiyakan perkataan ibuku. Ku naiki tangga dengan tidak bersemangat.
Di kamar aku langsung membaringkan tubuhku dan menutupinya dengan selimut. Seketika pikiranku tentang Dylan mulai meracau. Apakah ini sudah berakhir Dylan? Tidak ada kata perpisahan atau pelukan hangat? Sampai kapan kita terus begini Dylan? Jangan lama, aku tidak sanggup.
Sika membuka pintu kamarku, tangannya sudah membawa sebuah nampan berukuran sedang. Dia meletakkan nampannya di atas meja yang berada di samping tempat tidurku. Tangannya menyentuh pipiku, “Diba, bangun. Ayo minum obatnya.” Katanya sambil mengelus pipiku dengan ibu jarinya. Aku duduk di sampingnya, dia lalu mengecup keningku. Tidak perlu tanya kenapa, Sika memang selalu memperlakukanku dengan baik. Dia juga tidak segan menunjukkan kasih sayangnya kepada ku. Diberikannya sebuah obat dan gelas yang berisi air putih ke arahku, usai selesai ku minum obatnya dia akan kembali mengambil gelasnya dari tanganku seakan aku tidak sanggup mengembalikannya ke atas meja sendiri.
Aku mengikuti pergerakan tangannya yang menuju nampan di atas meja. Terdapat sebuah surat di atas nampan itu yang segera diambil oleh Sika. “Ini untuk Diba.” katanya sambil memberikan surat itu kepadaku. Ku ambil suratnya, lalu Sika kembali mengecup keningku. “Diba tau kalau Sika sayang Diba banget, kan?” tanyanya aneh. Dia tersenyum, mengusap kepalaku beberapa kali lalu meninggalkanku.
A.n : Maaf untuk update yang sangat lama. Tapi tenang, saya sudah menyelesaikan cerita ini. 3 chapters to go, be ready!
Iya, tau kalau update lama pasti lupa jalan ceritanya. Tapi saya gak bisa nulis kalau gak mood, percuma kan kalau dipaksakan tapi feelnya gak dapat. Anyway, saya juga kalau mau nulis harus baca ulang 2 chapters sebelumnya kok, lupa wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Masochist (gxg)
RomanceTidak peduli apa yang telah dia katakan padaku. Tidak peduli apa yang telah dia lakukan padaku. Yang ku tahu hanyalah, aku menginginkannya terus begitu. Aku, tidak ingin dia berhenti. [Cerita Lanjutan dari Is It a Wrong Love]