Bagian tanpa judul 27

3.3K 311 7
                                    

Bel sekolah baru saja berbunyi, kelas terakhir hari ini telah usai dan bangku paling pojok itu masih kosong. Sejak kami mendarat di benua ini Dylan tidak lagi terlihat. Dia tidak pergi ke sekolah selama seminggu, tidak ada telepon atau pesan yang datang darinya di ponselku, benar-benar hilang. Sama seperti Jake.

Tentu saja aku mencarinya. Dia seakan tidak memiliki teman di sekolah ini, mungkin aku adalah satu-satunya orang yang dia tahu. Aku bahkan menanyakan keberadaannya ke Mr. Potter, guru konseling kami. Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menemui Mr. Potter, gosip- atau lebih tepatnya kata beberapa anak yang kutanyai- mengatakan bahwa Dylan diwajibkan untuk mengunjungi ruang konseling setiap minggu. Troubled kid.

Tapi apa yang ku dapat di sana sesuatu yang lain. Memang benar bahwa Dylan diwajibkan untuk mengunjungi ruang konseling setiap minggu, namun ada alasan dibalik kewajibannya itu. Dylan juga diperbolehkan secara sah langsung oleh kepala sekolah untuk tidak mengikuti mata pelajaran yang tidak ia sukai, dia disahkan untuk membolos sesuka hatinya. Aku sempat berpikir bahwa ia dibolehkan melakukan hal itu karena ayahnya memiliki banyak uang, dugaanku salah.

Seorang dokter, seorang psikologis dan ayah Dylan pernah datang ke sekolah menghadap ke Mr. Burke, kepala sekolah kami. Dylan didiagnosis autism without retardation. Dylan mengidap autisme, namun otak dan kemampuan sosialnya tidak berhenti atau mengalami kemunduran. Dylan hanya menyukai matematika, "sedikit" sensitif dengan kuman, memakan makanan yang sama hampir setiap hari, hanya berbicara kepada orang-orang yang disukainya, bermasalah dengan konsentrasi dan sulit mengendalikan amarahnya. Kira-kira seperti itu.

Jujur saja, aku kurang mengerti dan aku tidak menyadarinya. Dylan terlihat seperti anak jenius anti sosial yang normal-normal saja bagiku. Kecuali matanya yang jarang sekali memandang mata lawan bicaranya, dan susunan miniatur binatang di kamarnya. Ku pikir itu tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa Dylan menderita autisme. Oh! Jangan lupakan amarahnya. Tapi dia benar-benar terlihat normal terkadang. Bingung.

Ku kemas semua barangku, lalu aku beranjak ke toilet sekolah. Entah apa yang ingin ku lakukan, aku hanya ingin menyentuh air karena hari ku penat dipenuhi oleh misteri hilangnya Dylan.

Ku basuh tanganku menggunakan sabun pencuci tangan yang diberikan Dylan pada saat aku berkunjung ke rumahnya. Anak itu lagi.

Suara isak tangis terdengar dari dalam salah satu ruang toilet, mungkin salah satu korban bully atau murid yang baru saja diputuskan oleh pacarnya. Benar saja. Seorang bertubuh kurus dengan tinggi melebihi anak SMA pada umumnya keluar sambil menyeka air mata. Dia berdiri di sampingku, mencuci tangannya dengan mata yang masih lembab. Aku mengeluarkan sarung tanganku dan memberikannya pada anak itu, dia terdiam sejenak memandangku dan sapu tanganku secara bergantian. "It's okay, just take it." Bujukku sambil tersenyum yang dibalas senyuman darinya pula.

"Thank you." Ucapnya masih dengan senyum.

"You can talk to me if you have any problems, I ... I would like to listen." Kembali aku membujuknya agar ia tidak merasa sedih lagi.

"No. It's okay. Dylana is enough for me."

Aku terdiam sejenak. Banyak anak bernama Dylan di sekolah ini, tapi tidak dengan Dylana.

"Dylana McKenzy?"

"Yeah. She's a really good person to me." Terangnya sambil tersenyum.

"Do you know where she is right now? I've been looking for week. Her dad is concern as well too."

"Oh really? She's at the club house. The upper part of the library. She always there."

"Thanks." Aku segera bergegas ke luar dari gedung ini, menuju ke arah selatan. Di sana ada perpustakaan besar yang dipakai oleh 4 sekolah sekaligus. Sudah pasti itu tempatnya.

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang