Setelah beberapa menit, baru kali ini dia menyentuh minuman yang telah dibawakan oleh sekertarisnya tadi. Dia meminum teh hijau itu dengan cara teranggun sekaligus tergagah yang pernah kulihat. Oh, tentu saja dia memakai hand sanitizer nya terlebih dahulu sebelum membuka tutup gelas dan meminum isinya.
Sudahkah ku beri tahu bahwa Dylan hanya menyukai 1 rasa dari banyaknya rasa yang bisa dikecap oleh lidah manusia?
Ya, dia hanya menyukai teh hijau atau matcha. Hanya itu, selama bertahun-tahun. Ku rasa, tidak ada hari dalam hidupnya tanpa teh hijau. Hal itu mengingatkanku akan suatu malam dimana aku merasa Dylan mempersilakanku masuk ke dalam dunianya.
××××××
Seperti yang ku katakan sebelumnya, Dylan selalu datang dan pergi dengan semaunya. Dia datang untuk meninggalkan sedikit memori yang akan terus diputar ulang oleh otakku ketika dia pergi.
Setelah malam itu, kami tidak lagi bertemu. Dia tidak menghubungiku, dia memang tidak pernah melakukannya, seingatku. Dan aku enggan untuk menghubunginya, karena aku tidak ingin jatuh lebih dalam tapi tetap saja otakku memutar ingatan tentang malam itu. Tidak hanya otakku, semua inderaku mengingat Dylan dengan baik. Sentuhan tangannya di pinggulku, aroma dan suhu tubuhnya, serta alunan musik yang seakan seirama dengan detak jantungnya.
Ku harap aku bisa kembali ke malam itu, dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengumpulkan lebih banyak memori untuk terus ku konsumsi selama Dylan kembali ke dalam dunianya sendiri.
Aku ingat, itu adalah pertama kalinya Dylan meninggalkan ingatan yang begitu membekas. Tidak seperti sebelumnya. Sebelum malam itu, aku tidak terlalu mempedulikannya bahkan bisa dibilang bahwa aku melakukan itu semua karena adanya tuntutan untuk menjadi orang baik.
Dylan muncul sekitar 3 minggu setelah itu. Tidak. Dia tidak muncul, aku yang mendatanginya di club house setelah ibu menanyakan keberadaannya padaku. Lebih tepatnya Mr. McKenzy menelepon ke rumahku lalu ibu yang mengangkat teleponnya. Ia menanyakan apakah Dylan sedang berada di rumahku, karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore dan dia masih tidak ada di rumah.
Tentu saja aku panik pada saat itu, bayang-bayang perkataan Mr. Potter yang menyatakan bahwa Dylan mengidap autisme terus terputar di otakku. Aku tidak terlalu mengerti mengenai sindrom itu namun aku khawatir bahwa Dylan akan mengalami atau melakukan sesuatu yang buruk. Detik itu juga aku meminjam mobil bapak lalu memacunya ke arah perpustakaan.
Dan benar saja tebakanku, Dylan di sana. Dia duduk bersila menghadapi sebuah susunan minuman kaleng dihadapannya. Entah berapa banyak yang dia minum tapi kaleng itu berjumlah lebih dari 10 buah.
"Dylan?"
"Halo Adiba." jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan masih terus menyusun kaleng-kalengnya.
"Pulang yuk. Ayah kamu nyariin." bujukku.
"Iya?"
"Iya. Tadi telepon ke rumah aku, tanya kamu dimana."
"Tapi bosan dijemput sama orang-orang itu terus. Gak kenal." alisnya mulai berdekatan, hampir saling menyentuh.
"Gak. Aku bawa mobil, aku aja yang antar pulang ya."
"Iya?"
"Iya, ayo." ku ulurkan tanganku ke arahnya yang kali ini langsung disambut. Kami berjalan ke arah pintu perpustakaan dengan berpegangan tangan. Dia yang tidak melepaskan tanganku.
"Adiba?" dia menghentikan langkahnya yang membuatku spontan menoleh ke arahnya.
"Tas aku ketinggalan."
Aku menoleh ke tempatnya duduk tadi dan benar saja ada tas yang tergeletak di samping kaleng-kaleng itu. "Ambil lah." kataku.
"Kamu lah." jawabnya yang tidak ku sangka Dylan akan bertingkah seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masochist (gxg)
RomansaTidak peduli apa yang telah dia katakan padaku. Tidak peduli apa yang telah dia lakukan padaku. Yang ku tahu hanyalah, aku menginginkannya terus begitu. Aku, tidak ingin dia berhenti. [Cerita Lanjutan dari Is It a Wrong Love]