Bagian tanpa judul 29

2.6K 298 17
                                    

"Adiba, saya mau mengajak kamu untuk pergi ke tempat kesukaan saya."

Baru kali ini aku melihat tulisan tangannya. Tidak begitu bagus, jarak antar kata yang tidak konsisten, dan kalimat yang sangat baku persis seperti gaya bicaranya.

Dylan baru saja memberiku sebuah kertas di tengah-tengah jam pelajaran dengan kalimat itu di dalamnya. Entah apakah dia meniru adegan-adegan di dalam film atau itu memang pikirannya sendiri.

Aku menoleh ke arahnya di pojok kelas, dia menghadap ke arahku, menopang pipinya dengan tangan kanannya, tersenyum hingga matanya terlihat sedikit sipit. Dia anak termanis yang pernah ada, dapat ku pastikan itu.

"Iya, nanti ya tunggu waktu pulang." kataku ke arahnya tanpa mengeluarkan suara. Dia hanya mengangguk, masih dengan senyumannya. That damn smile.

5 menit kemudian bel sekolah berbunyi, semua murid berhamburan keluar dari kelas kecuali Dylan. Ketika aku menoleh ke arahnya, dia sedang tersenyum ke arahku sambil memakai tas ranselnya. Akhir-akhir ini dia banyak menebarkan senyumannya kepadaku, dia berbicara banyak hal juga. Seperti bagaimana ia sangat menyayangi Kak Sadrie, teman SMP nya yang bernama Andre yang juga menjaga Mocko selama Dylan tidak berada di Indonesia, bagaimana kesulitannya ia mencari Mocko pada saat listrik padam, dan banyak hal lainnya.

"M-may I?" dia mengulurkan tangannya, terlihat sedikit gugup namun bagiku dia terlihat semakin menggemaskan.

"Kok grogi gitu?" tanyaku sambil tersipu malu, lalu menggenggam tangannya. Pipiku seperti memerah kali ini, karena terasa sedikit ngilu.

Dylan hanya tersenyum dan mengajakku berjalan keluar kelas, namun baru beberapa langkah kami dari pintu kelas aku melihat anak perempuan yang ku temui di toilet sekolah ketika sedang mencari Dylan. Anak perempuan yang menangis dari salah satu bilik toilet itu, yang memberitahuku mengenai the club house. Dia terlihat terkejut dan kesal ketika melihat ku dan Dylan. Ku genggam tanggan Dylan lebih erat ketika ia mulai menghampiri kami.

"Dyl-dylana? Long time no see." katanya gugup. Aku hanya tersenyum ke arahnya namun tidak mendapat respon selain lirikan mata yang sedikit menyinggungku.

"She told me to study well, so I do it." kata Dylan sambil menoleh ke arahku dan tersenyum.

"She did? I was waiting for you, day by day. I... I was lonely." anak itu menunduk sambil meremas-remas sisi bajunya. Aneh.

"Excuse me, I need to go Catherine." Dylan meninggalkan anak yang ternyata bernama Catherine tersebut. Ketika aku menoleh ke belakang, dia masih tertunduk di tempatnya.

"Dia teman kamu?" Dylan hanya mengangguk.

"Kemarin aku pertama kali nemuin kamu di club house karena dia. Dia bilang kamu teman dekatnya. Kenapa gak ajak dia ikut kita?"

"No. Aku maunya sama kamu aja Adiba." jawabnya dengan penekanan. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku merasa lebih. Seperti, dia hanya menginginkanku di muka bumi ini. Genggaman tangannya terasa erat, seakan dia tidak ingin aku terlepas dan tertinggal.

Dia membawaku terus naik ke lantai teratas dari gedung utama sekolah kami. Kami berhenti di pintu terakhir yang tergembok, Dylan mengeluarkan sebuah alat dari dalam saku jaketnya lalu memasukannya ke dalam lubang kunci gembok tersebut. 3 detik kemudian, gemboknya terbuka. Perlu diakui bahwa dia berpotensi menjadi seorang penyelinap, atau memang dia telah menjadi seorang penyelinap andal.

Setelah pintunya terbuka, yang bisa ku lihat hanyalah sebuah menara penyimpanan air dan tentu saja bagian atas dari semua bangunan di sekelilingnya. Dylan berjalan menuju tepi bangunan, dan duduk di sana dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Dia tidak menghiraukanku lagi, hilang di dunianya. Ku hampiri dia dan duduk di sampingnya. Jantungku sedikit bergetar ketika melihat ke bawah, angin di sini bisa saja meniupku jatuh ke bawah. Tapi Dylan menggenggam tanganku, menatap mataku sambil kembali tersenyum seakan mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja selama dia ada bersamaku.

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang