Niall's pov
"......Ameen"
Doapun berakhir setelah sang pendeta mengakhiri ucapannya. Aku, Keenan, dan kedua orang tuaku sebagaimana biasanya menjalani aktifitas layaknya seorang kristiani yang baik dengan cara pergi ke gereja setiap hari Minggu.
Setelah selesai, kami pun pulang dengan ayahku yg menyetir sedangkan aku duduk disampingnya, dan Keenan duduk dibelakang bersama Ibuku. "Mom, can you stop it?" tanyaku gusar karena Ibuku yang terus-terusan menunjukkan foto-foto masa kecilku kepada Keenan.
"What if i can't?" tanya Ibuku, lebih tepatnya-- Ia meledekku sambil tertawa. Oh, come on!
"Kenapa kau marah, Niall? Kau bahkan terlihat lebih lucu saat masih kecil dibanding sekarang" Keenan berkomentar disusul dengan tawa kecilnya.
"Oh jadi kau kini sudah mulai berani mengejekku?" tanyaku dengan wajah yang ditekuk.
Tepat seperti dugaanku, Keenan mencubit pipiku dan menciumnya setelah berkata, "Hey. Ugh, Niall you're so cute even when you angry"
Ayahku tertawa melihat reaksiku terhadap perbuatan Keenan yang menciumku secara tiba-tiba. "You're blushing" komentarnya, aku tidak menjawab. Shit! Am i really blushing? Wow this is so awkward, the thing is i am blushing infront of my Dad. Great. "Kalian tampak serasi satu sama lain. Jadi kapan kalian akan melanjutkannya?" tanya Ayahku dengan tiba-tiba.
"I don't understand what you mean, Dad" balasku.
"Really?" tanyanya lagi, aku mengangguk. "Your wedding"
"My wedding?" ulangku, meyakinkan pertanyannya.
Ayahku mengangguk. "With Keenan" ujarnya
Wow. The wedding? Stupid. Bagaimana bisa aku belum memikirkan hal itu sama sekali hingga saat ini? Well, I love Keenan, so what are we waiting for, i guess?
**
"Just stay here, Keenanta. Aku akan kembali, tidak akan lama. Lagipula ada Theo dan Denise yang akan menemanimu disini"pintaku kala mengelus rambutnya yang mulai memanjang.
"Bukan. Bukannya aku tidak ingin bermain dengan mereka, tapi--" ia menggantung kata katanya.
"Tapi?"
"Tapi kenapa kau lebih memilih berjalan dengan Camilla dari pada aku?" tanyanya. Wait-- Haha, is she jealous? I think it's great?
"Maybe it's because she's prettier than you?" responku secara asal, sungguh aku tidak memikirkan lebih dulu harus merespon seperti apa. The thing is i have to make her jealous-- even mad at me.
Ia terlihat terkejut mendengar jawabanku, ia hanya diam tanpa kata. Aku meninggalkannya dan menyusul Camilla yang sudah didalam mobil. Di ambang pintu, aku dapat mendengarnya berteriak. "Really? You're so rude, Niall! You promised me that you'll never leave me anymore, i swear, Niall if i'll leave this place if you--"
Sebelum Ia menyelesaikan ancamannya, aku lebih dulu memotong kalimatnya. "Apa kau mengancamku? Wow. You're doing great, Keenanta. But you know what? I don't care, okay? I don't care anymore. See? I don't care"
Oh, sial. Ia hampir menangis. Sebaiknya aku segera pergi dari hadapannya, membuatnya marah adalah bagian dari rencanaku. Aku segera berpaling karna tidak mau melihat ke arahnya yang kuyakini saat ini, Ia pasti menangis.
Aku segera mengirim pesan untuk Denise, mengatakan bahwa Ia dan Ibuku dirumah harus menjaga Keenan. Aku hanya takut bahwa Ia benar-benar marah dan benar-benar pergi dari rumahku. Setelah itu aku langsung menancap gas dan menuju ke tempat tujuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deserve
Fanfiction"Once you realize you deserve better, letting go will be the best decision ever" [One Direction's Fanfiction]