Chapter 23

4.7K 373 11
                                    

Keenan's pov

"... Please. Aku benar-benar membutuhkanmu, Keenan. Kembalilah dan kita rayakan hari natal bersama seperti tahun-tahun yg sudah kita lewati ini"

Rasanya kalimat itu bagaikan pukulan yg tepat mengena ke jantungku. Sakit. Entah apa ini rasanya tapi aku menyimpulkan bahwa yg sedang jantungku rasakan saat ini adalah ini rasa sakit.

Aku memang sengaja streaming  karna kudengar kabar, mereka akan interview hari ini. Tapi sungguh aku tidak menyangka kalau Harry akan mengatakan itu.

Bahkan Niall...

Dia bilang, dia menginginkan seseorang bersamanya. Apa itu aku? Mengapa mereka begitu mengharapkanku kembali? Jika mereka ingin aku kembali, mengapa tidak ada usaha apapun yg mereka lakukan untuk membawaku kembali ke London?

Tunggu. Apa aku harus benar benar kembali ke London?

**

"Happy birthday Mr. John" Aku memperhatikan Ayahku yg sedang bersalaman dengan atasannya ini, Mr. John. Kelihatannya, beliau orang yg baik.

"Happy birthday to you" ucapku dan Ibuku bersamaan. Lalu menjabat tangannya juga.

"Terima kasih, Tuan, Nyonya Rissaber. Dan--"

"And this one is my lovely daugther." Ayah mengenalkan Mr. John padaku dengan pujian yg membuatku memerah.

"What a beautiful girl" Mr. John mencubit pelan pipiku. See? Aku merasa diperlakukan seperti gadis kecil. Pft. "Ah! Aku hampir lupa. Tunggu sebentar" kemudian Mr. John menoleh kekanan dan kiri seperti mencari seseorang. Setelah menemukannya, ia memanggil orang tersebut. "Richie!!!"

Entah siapa tadi namanya. Orang itu menghampiri kami.

"Ada apa, Dad?" laki-laki itu bertanya.
Dia bilang 'Dad'? Apa orang ini anaknya?

"Perkenalkan, ini Tuan dan Nyonya Rissaber dan anak perempuannya. Whats your name, dear?"

Laki laki yg kufikir anaknya itu menjulurkan tangannya. Aku menjabatnya. "Keenan."

"Richie."

Untuk beberapa detik aku memerhatikan wajah laki-laki ini. Begitupun dengan yg ia lakukan saat ini. Menatapku untuk beberapa detik yg menurutku sangat panjang. Laki-laki ini mirip dengan Ayahnya, Mr. John. Cukup tampan, rambutnya berwarna cokelat gelap bahkan hampir kehitaman seperti orang Timur. Menyadari genggamannya belum lepas dari tanganku, aku segera berkata. "Sorry" ucapku dan menyadarkannya dari lamunannya.

"Ah ya, i'm sorry." jawabnya lalu melepaskan genggaman tangan kami.

"Anak muda" cibir Mr. John kepada Ayah dan Ibu-- lebih seperti menggoda-- sebelum mengajak kami untuk mencicipi makanan yg tersedia.

Ketiga orang dewasa didepanku ini mengobrol dengan serunya, meninggalkanku bersama dengan Richie dibelakang mereka. Richie orang yg cukup seru, dia mengajakku mengobrol berbagai hal-- lebih banyak mengobrol tentang keluarga konglomeratnya yg lumayan membuatku ternganga.

Richie menghentikan langkahnya, kemudian memanggilku. "Keenan?"

"Ya?"

"Can i have your number?"

**

Semenjak hari itu aku benar benar merasa terganggu. Aku sedikit menyesal memberikan nomor ponselku padanya waktu itu.

Well, aku sudah pernah bilang bahwa Richie anak yg baik. Tapi baik tidak berarti tidak menyebalkan. Dan sialnya, Richie sangat amat menyebalkan. Dia menelfonku untuk ke 7 kalinya siang ini, entahlah. Dia hanya membicarakan hal-hal tidak penting seperti "apa yg sedang kau lakukan" dan semacamnya.

Aku memutuskan untuk mematikan ponselku karna Luke sudah menjemputku, kami akan pergi ke Mall mencari sepasang sepatu olahraga untuk Luke.

Beruntung, Luke orang yg percaya diri. Ia tidak perlu bertanya berkali-kali apakah sepatu pilihannya bagus atau tidak, atau malah mengunjungi Sport Station yg berbeda-beda.

Setelah selesai, Aku dan Luke  berkunjung disebuah kedai ice cream.
Luke memilih rasa cokelat dan aku memilih rasa Vannila, kemudian kami memberi toping sendiri sesuai keinginan kami. Setelah mendapatkannya, aku dan Luke duduk di kursi yg masih kosong.

"Ah wait! Aku harus memotret moment ini" kataku.

"Moment apa?"

Aku tidak menjawabnya, melainkan mengeluarkan ponselku dan...

"1...2...3...Cheese!!!"

Luke merebut ponselku untuk  melihat hasil fotonya, "Aww. We looks so cute" ucap Luke kala mengembalikan ponselku dan aku segera mem-posting foto itu ke akun Instagram milikku dengan caption: "Hello, best!"

**

Niall's pov

Who the fuck is that guy?

Keenan baru saja mem-posting foto dirinya bersama dengan seorang laki-laki sebayanya yg kuakui cukup tampan, dan itu cukup membuatku gelisah. Juga penasaran.

Aku bahkan bisa tahu keberadaan mereka. Dengan 2 mangkuk ice cream dihadapannya, aku tebak mereka sedang berada dikedai ice cream saat itu.

But look at the caption!

Best? Apa itu artinya Bestie? Atau semacannya? Apa laki-laki itu benar-benar hanya sahabatnya?

Aku seperti orang bodoh saat ini, karna memperkirakan hal yg tidak aku ketahui sama sekali.

Aku hanya ingin Ia kembali ke London, menghabiskan hari natal bersamaku. Tapi aku sama sekali tidak tahu apa yg harus aku lakukan, aku bahkan tidak tahu dimana alamat rumahnya.

**

Keenan's  pov

Setelah puas menghabiskan waktu dengan Luke, aku membantu Ibuku menyiapkan pakaiannya dan Ayah karna beberapa hari nanti mereka akan ke Chicago mengunjungi nenekku yg sedang sakit. Ingin sekali aku ikut mereka. Tapi apa boleh buat? Ayah tidak mengijinkanku untuk ikut.

Ketika rasa kantuk merasuki tubuhku, ponselku berdering tanda ada yg menelfon.

Aku tercengang saat melihat nama yg terpampang di ponselku saat ini. "Ta-taylor?"

Ada apa ia menelfonku?

Cukup lama aku menimbang-nimbang, apakah aku akan menjawab atau mengabaikan, tapi sepertinya akan lebih baik jika aku jawab lebih dulu.

"Hello?"

"Hi, Keenan. It's me! Taylor"

"Uhm, i know, Tay. So, whutsapp?"

"Nothing. Just wanna talk to you 'bout... Harry, you know?"

"Harry?"

"Yup, aku sudah tahu tentang kau dan Harry. Actually" ucapnya, aku terdiam untuk beberapa detik. Tidak mengerti apa yg Taylor maksud dengan Sudah tahu tentang aku dan Harry. "I think he loves you"

BOOM!

Yup. It's like a bom to me. Maksudku-- bagaimana bisa Taylor berfikir seperti itu?

"Apa yg kau bicarakan, Tay? He loves you"

"It's you, Keenan" balas Taylor dengan keras kepalanya, membuatku terdiam. Begitupun dengan Taylor, dia hening untuk beberapa detik sebelum mengatakan permintaannya yg membuatku segera ingin menutup telfon darinya ini. "Keenan. Please just come back to London. For me, He needs you. Harry needs you"

"I can't taylor."

"Tapi kenapa?"

Aku memutuskan telfon itu. Ya, aku benar-benar melakukannya. Shit Taylor! Aku bahkan tidak tau kenapa aku enggan kembali kesana. Ke London.

.

.

.

.

LEAVE YOUR VOTES AND COMMENTS

Deserve Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang