a. Hadiah Istimewa oleh Ar

1.6K 84 13
                                    

[PL]

"Yang kalah, harus bilang suka ke Pinka!"

"Oke!"

"Setuju!"

"Gue pasti menang!"

"Amit-amit. Jangan sampe gue kalah."

Beberapa murid laki-laki terlihat sedang asik melakukan permainan konyol. Permainan kuat-kuatan buat nggak berkedip minimal selama 2 menit. Dan yang kalah harus apa tadi mereka bilang? Oh, harus bilang suka padaku. Sialan memang. Sampai salah satunya nggak ingin kalah, saking takut sama hukumannya.

Dasar menyebalkan! Aku juga tidak ingin dia bilang suka padaku begitu tuh. Kayak dia paling oke aja!

Ehem, namaku Pinka Laura. Aku makhluk paling digemari satu sekolah. Jelas aja, setiap mereka main atau melakukan sesuatu, bahan taruhannya itu ya Pinka. Bilang suka ke Pinka, 'nembak' Pinka, antar Pinka pulang, jambak Pinka, dorong Pinka dari tangga (tangga yang hanya terdiri dari 3 lenggek).

Kalian salah paham kalau Pinka yang terbayang adalah cewek populer berparas cantik jelita, berkulit putih berseri dengan tubuh ramping sempurna. Meski aku juga nggak kalah populer (dalam hal bahan ejekan). Pinka Laura, hanya cewek berkulit gelap yang sering disapa 'areng' atau hinaan lain seperti; shadow, batman, dan kecebong gosong oleh Ardi.

Aku memiliki postur tubuh tinggi yang tidak biasa di kalangan perempuan. Kulit ku dari ujung kepala hingga kuku kaki, gelap. Wajahku kusam, dan kadang ada satu atau dua jerawat di pipi. Kelopak mataku sedikit lebar, dan Ardi sering kali memukulku kalau aku bersitatap dengannya. Dia bilang, "Ngapain melotot? Mata lu bersitatap biasa aja dikira ngajak berantem! Gimana melotot? Itu tanda ngajak perang antar negara tau!"

Cih. Padahal mataku jelas biasa aja melihat dia.

Omong-omong tentang Ardi. Dia salah satu teman sekelasku selama 2 tahun pertama di SMA. Dia itu pengganggu, dia orang yang frekuensi mengejek dan menghinaku paling banyak. Dia tertawa dengan gembira kalau aku menderita. Contohnya, saat tersandung kakiku sendiri ketika berlari mengejarnya, atau ketika Pak Gravi--guru fisika, melempar kapur yang tepat mengenai dahiku sesaat setelah aku menguap kencang di kelas.

Ku pikir kami tak bisa disebut teman, karena enggak ada hal resmi yang menyatakan bahwa kita berteman. Hanya, selama dua tahun dia memang selalu di dekatku untuk mengganggu. Dalam diriku, tidak ada sama sekali rasa suka dalam artian romantis ke cowok itu. Pasalnya, aku tahu diriku sejelek apa dan yang pasti Ardi itu ganteng. Meski dia selalu bertingkah sok manis, lawakannya garing, dan ekspresinya sering kali menjijikan.

Tahun ini, aku harap Ardi tidak di kelas yang samㅡsialan. Aku nggak jadi berharap, karena sosok Ardi muncul di pintu kelas dan hendak berjalan ke barisanku.

"Anjr-t! Gua sekelas lagi sama lu?!" ucapnya setengah berteriak.

"Dih? Lu pikir gue mau?!" kataku sembari berdiri dari kursi tunggal ini.

"Wah ini pasti ada kesalahan! Gua mesti protes! Masa iya setahun terakhir gua sekelas sama shadow lagi!"

Dia berbalik, batal berjalan ke arah barisanku. Ku langkahkan kaki dengan cepat dan menarik kerah belakang kemeja Ardi hingga membuatnya berhenti melangkah.

Ardi berbalik lagi, melepas cengkraman tanganku di kerahnya sambil mengerang menatapku. "Ergh, bosen gue liat lu! Berasa gelap kehidupan SMA gue. Kegelapan lu menguasai sebagian besar masa hidup gue, Ar."

"Areng si penguasa kegelapan berhasil membuat teman sekolahnya ditutupi aura kegelapan selama SMA." Ardi berkata lagi dengan intonasi berlebihan.

"Cie Ardi, ngegodain Pinka terus." pekik Tami yang muncul di antara kami. Kemudian dia melanjutkan perkataannya dengan wajah tak berdosa. "Ardi lu suka kan sama Pinka?"

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang