t. Yang Terjadi di Perkemahan (1)

401 38 10
                                    

Sejak tadi, Pio selalu mengekoriku. Dia bahkan duduk di sebelahku di dalam bus. Namun percakapan kami sebelumnya belum berlanjut karena Pio bergegas tidur saat bus baru saja jalan. Kepalanya terombang-ambing kanan-kiri depan-belakang, membuatku yang berhati lembut ini tak tega membiarkannya. Jadi, ku sandarkan kepalanya ke bahuku.

Tetapi untunglah kami terpisah selagi pembagian kelompok. Sayangnya, nggak bisa disebut untung juga, karena kelompokku terdiri dari mereka yang bermasalah denganku.

Pertama, si biang rusuh alias vampir kerdil, Georgio Restisalya Wisnuwardhana. Sesungguhnya, aku suka namanya, bagus. Namun aku tak suka perangainya yang buruk.

Kedua, ada Heru dan juga Delfi. Iya, mereka yang bertaruh tentang apakah Pinka Laura bakal punya pacar di masa depan atau tidak.

Sesampainya di lokasi perkemahan, kami diberi waktu 1 jam untuk istirahat serta memasang tenda. Seusai mendirikan tenda, cewek-cewek berebut masuk—termasuk Tami. Kami bersitatap tanpa bertegur sapa. Dapat ku lihat, Tami hendak membuka mulut untuk—mungkin menyapaku. Namun suara Bu Sehan (selaku ketua pelaksana) dari pengeras suara menyuruh kami berkumpul untuk apel.

Kakiku bergegas keluar tenda karena Bu Sehan terus mengeluarkan suara khas oma-oma sosialita dengan TOA yang digenggamnya. Suaranya makin mengerikan karena dia berteriak. Intisari dari apel ini hanya untuk menginfokan rundown acara kemah yang berlangsung hingga besok siang.

Senja berlalu dengan cepat. Usai acara masak-memasak dan makan-memakan, kami duduk di rerumputan luar tenda. Tradisi pada acara kemah tahunan adalah pertunjukkan bakat. Di temani cahaya gemintang serta sang rembulan, kami semua duduk melingkar ditengahi oleh api unggun. Percikan merah kekuning-kuningan serta kepulan asap tipis dari tumpukan kayu yang terbakar itu cukup indah. Mereka berterbangan di udara, menyelimuti kami dari hawa dingin yang sebelumnya menjalari tubuh.

Entah mengapa dalam keramaian ini, aku merasa kosong. Kekehan Ardi melintasi pendengaran serta pikiranku tiba-tiba. Ucapannya pun ikut menggema, "Lu tuh harusnya bersyukur. Ardi Wishaka Wisnuwardhana yang tampan, lahir di dunia ini dan diperkenalkan sama Areng buat mewarnai harinya yang gelap."

Ardi benar. Tanpanya, hariku sepi. Melihat hadirnya merupakan rutinitasku, sehingga ketidakhadirannya adalah ketidakbiasaan yang membawaku pada kehampaan. Berat bagiku untuk berkata bahwa ... aku merindukannya.

"Ar."

"Ish. Jangan manggil gue dengan panggilan itu." keluhku sembari menoleh pada sosok Pio yang duduk di samping belakangku.

"Panggilan itu khusus dari Ardi buat Areng tersayang."

Lagi, penggalan ucapan Ardi memenuhi pikiranku. Aku jadi ingat pertama kali masuk kelas 3­mengingat Ardi yang kala itu sok ogah-ogahan karena kembali sekelas denganku.

"Cuma Ardi yang boleh manggil lo begitu?"

Mataku menatap kosong Pio ditemani keterdiaman, lantas teringat percakapan pagi tadi. "Tadi pagi lo bilang, Ardi sakit. Dia sakit apa? Demam? Pilek? Atau encok?"

Teringat berapa letoynya bocah itu yang dikit-dikit sandar sini-sandar sana. Dasar pemburu sandaran.

"Kenapa lo senyum-senyum?"

Eh?

Irisku kembali bertemu dengan manik mata Pio. Seperti biasa, dia menunjukkan muka tripleknya.

"Dia kayaknya, demam." tutur Pio.

"Demam selama ini? Udah nyaris seminggu lho."

Dia mengedikkan bahu. Cowok itu memalingkan wajah ke arah lain lalu berdeham, kembali melihatku kemudian. "Jenguklah! Katanya sahabat, tapi sahabat sendiri sakit bukannya dijenguk."

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang