n. Cerita Malam Itu

1.1K 38 16
                                    

[PL]

Aku baru saja kembali dari toilet setelah Ardi bilang di mataku-oh sial ini memalukan-ada belek. Mengesalkan. Dasar cowok enggak berperasaan. Gimana bisa dia memberitahuku hal semacam itu di koridor, yang mana ada beberapa murid cowok lagi lewat? Makin hancur imejku.

"PIIIIINK!"

Mendengar seruan Tami yang melengking, aku menoleh melihat gadis bertubuh mungil itu berlari mendekat. Dia buru-buru ngerem sampai sepatunya berdecit ketika sudah di depanku.

Tami mengatur napasnya. "Parah! Ardi kayaknya udah gila deh."

"Bukannya emang gila?"

"Maksud gue, dia makin gila, Pink!" Tami berkecak pinggang dengan sebelah tangannya. "Dia mukulin Pio anjir!"

Aku melotot. Gila. Punya nyali dan kekuatan dari mana cowok letoy itu mukulin Pio? Kena bubuk cabe makaroni setan aja nangis.

"GILA!"

"Nah gila kan!"

"Ada fungsinya juga dia jadi cowok ya?"

Kepalaku otomatis kena tepak tangan Tami. "ETDAH! Ini bocah bener-bener yak!"

"Temen lu tuh lagi kena masalah! Udah mending lo ikut gue!"

Tami menarik tanganku hingga kami berlari bersama sampai ke ruang konseling. Dapat ku lihat dari luar jendela kalau Ardi berdiri di sebrang sofa yang sedang diduduki Pak Eko-guru konseling berambut belah tengah dengan tompel di pipi kanannya-juga Pio di sebelahnya. Tak berlangsung lama, mereka keluar dari sana.

Pak Eko keluar dari ruangan lebih dahulu. Pio menyusul, melangkah keluar dengan mata menatapku dan Tami bergantian. Lalu ada Ardi, keluar dengan tatapan kosong menyertainya.

Aku menghela napas. Bagaimana bocah dungu satu ini bisa langsung jotos anak orang padahal belum berapa lama aku tinggal ke toilet? Sejak aku mengenalnya, Ardi belum pernah jadi bocah anarkis yang dengan mudah memukul orang lain-apalagi orang itu sepupunya sendiri. Ku pikir Gio lah yang pada saatnya nanti bakal berkelahi dengan Pio-kalau dilihat dari reaksinya saat Pio pindah ke sini.

Tami membuntuti Ardi yang tidak bersuara sejak keluar dari ruang konseling. Aku melihat kepergian mereka dari belakang. Menoleh cepat ke arah Pio yang kini berjalan ke arah sebaliknya. Aku mulai berjalan bersisian dengan Pio, lalu ikut masuk ke UKS.

"Lu udah ngelakuin apa yang gue saranin?" tanyaku ketika Pio selesai diobati oleh perawat sekolah.

Pio mengangguk sekali. Aku bergerak duduk bersebelahan dengannya di pinggir brankar.

"Terus kenapa kena pukul? Ardi tuh bukan orang yang kasar deh setau gue." Memicingkan mata sejenak. "Lu pasti ngomong sesuatu yang mancing amarahnya."

Pio diam, bengong.

Dan ingatanku melayang ke malam Minggu. Malam dimana Ardi yang mengajakku pergi, tetapi dia juga yang meninggalkanku.

Sebelum itu, mari kita bahas perasaanku.

Jujur, aku sangat kecewa padanya. Bagaimana tidak? Bahkan sebelum kepingan kejadian itu dia berkata kalau, "Tadi sebelum ngajak lu pergi, gue ngajak dia dulu."

Ya, awalnya dia bahkan enggak berniat mengajakku main. Egh-maksudku, aku juga temannya bukan sih? Lalu fakta bahwa dia sangat gelisah karena Tami pergi berdua dengan Pio, sedangkan tanpa ragu dia meninggalkanku bersama Pio di parkiran kafe-itu juga sangat menyakiti hatiku tau.

Terus kenapa aku bohong?

Iya, aku berkata padanya kalau aku enggak marah.

Aku marah, hatiku kesal dan sakit. Tadinya, sebelum Pio menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku yang penasaran dengan sosok Pio akhirnya mengajak cowok tampan itu duduk sebentar di kafe lain.

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang