L ˹Fakta dan Arin˼

382 36 11
                                    

[PL]

"Kehilangan sesuatu emang seenggak terduga itu ya, Ar."

Hampir setahun lamanya, tapi kalimat itu masih begitu melekat dalam otakku. Tak ada yang istimewa memang dari susunannya, hanya saja, dengan seketika dapat menguatkanku dari kerapuhan.

Saat itu, Mama Ruby pergi--ke tempat yang sama dimana mamaku berada. Dan seperti dalam ceritaku sebelumnya, berbekal sekotak pizza ber-topping mushroom favorit Ruby, aku berniat menghibur. Namun, kalimat yang sama membekasnya, lepas begitu saja dari pita suaranya.

"Coba aja pikirin, mamah lo pergi karena lo anaknya. Mamah gue pergi karena lo juga jadi anaknya!"

Tentu saja, ucapannya menggema dalam telingaku. Menuntun buliran air meluruh turun dari mataku. Hingga keesokan paginya, Ardi menyadari sesuatu dan mengucapkan hal yang aneh.

"Ar, mata lo di-filler ya?"

Mendengar pertanyaannya, membuat alisku mengernyit. Kemudian bergumam, "Mana bisa mata di-filler?"

Entah mungkin aku lah yang katrok, tapi belum pernah kok aku dengar ada filler untuk mata. Bodo amat deh. Aku berniat mengabaikannya saja, namun dia berucap lagi.

"Mata lo bengkak banget tau. Di-filler dimana? Nggak bagus tuh hasilnya."

Tentu saja, otomatis aku ngegas. "GILA YA? MANA MUNGKIN GUE FILLER MATA SIH?"

"Terus kenapa bengkak?"

Menghela napas kesal, sudut bibirku mengedut. Dasar idiot. Manusia normal pasti akan bertanya, "Lo nangis ya? Mata lo sampe bengkak gitu. Lo nangis kenapa?"

Sayangnya, dia enggak. Makanya pertanyaan yang dilontarkannya seperti itu.

Kemudian, ada jeda keheningan. Ardi menopang dagunya di atas mejaku, menatapku dengan seksama. Ada sepercik rasa simpati yang dipancarkan dari matanya. Lantas dia berucap, "Kehilangan sesuatu emang seenggak terduga itu ya, Ar."

Hanya 5 detik kalimat tersebut selesai dituturkannya, namun entah mengapa sangat benar. Ardi lalu berdiri, berjalan hendak melewati kursi tempatku duduk. Dia berhenti sejenak untuk menepuk pelan bahuku.

"Gue turut berbela sungkawa ya atas meninggalnya mama lo, Ar," katanya.

Apa yang diucapkan Ardi memang tidak panjang, tidak puitis, ataupun menegarkan. Tapi deretan kalimatnya, mampu menghentikan kesedihanku. Kesedihan akan ditinggal pergi yang ke-2 kalinya oleh seseorang yang ku sebut 'mama', serta akan ucapan saudara tiriku yang begitu menusuk hati.

Dia memang sekurang-normal itu, tapi untuk pertama kalinya saat itu, aku sadar dia juga berarti dalam hidupku.

Dan kini, ada hal yang baru-baru ini ku sadari.

Aku jatuh cinta padanya.

Pada Ardi Wishaka Wisnuwardhana, sahabatku. Mungkin, aku tak akan pernah menyadarinya jika dia tidak memelukku malam itu.

Pelukannya menyadarkanku bahwa, ya, dialah yang selalu ada dalam kesedihanku. Dan, sepertinya perasaan ini sudah sejak lama ada.

Katakanlah aku keterlaluan, ya, aku sendiri pun bimbang. Bagaimana ini bisa terjadi? Padahal, dia sahabatku. Dan yang terparah aku punya pacar, pacarku adalah sepupunya, serta Ruby mencintainya juga.

Aku ... harus bagaimana?

(#)

Mataku menatap kosong langit-langit kamar sembari telentang.

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang