r. Double Ar; Bukan Kencan

413 42 5
                                    

a-note.
disarankan untuk baca
saat tersambung ke internet,
karena bagian ini ada fotonya.

(#)

Malam Sabtu tiba, dan aku tak memiliki secercah niat pun untuk menyalakan ponsel.

Kemarin, aku pulang dengan kondisi sangat mengenaskan. Setelah berlari meninggalkan kelas, yang terpikir olehku adalah pulang ke rumah. Tapi bodohnya, kunci motorku ada dalam tas yang tertinggal di kelas. Mustahil aku kembali ke sana. Kan malu.

Alhasil, aku memilih untuk jalan kaki ke halte bus. Baru sampai perempatan, hujan lebat tiba-tiba mengguyur kota sekaligus diriku. Dan aku berdiri dengan tampang bodoh, mata memerah, tak lupa ingus yang mengalir, di persimpangan. Menyedihkan.

Sejak pertengkaran itu, aku memilih untuk absen—mengingat aku butuh waktu untuk membuang rasa maluku. Aku beralasan pada Papa bahwa diriku terserang flu. Belum berani bercerita padanya, jadi aku hanya bilang pada Ruby. Berbanding terbalik dari tampang dingin dan galaknya, sesungguhnya dia adalah orang yang penuh perhatian.

"Lu jadi, mau deket sama Ardi?"

Sebetulnya aneh bertanya dengan susunan kalimat seperti itu karena terdengar seolah mendekatkan mereka itu adalah hal yang mudah.

Aku sih belum pernah lihat Ardi bisa dekat dengan perempuan selain aku dan Tami—ah, tapi ada satu cewek cantik yang ngobrol dengan Ardi di dekat perpus beberapa minggu lalu.

"Emang boleh?"

"Boleh sama?"

"Lo?"

Bergeming sesaat. Bukankah sebelumnya dia tak memedulikan apakah aku setuju atau tidak? Lagi pula, tak ada alasan buatku nggak menyetujuinya.

"Ya, gue bukan orang yang berhak ngebolehin atau enggak lu berinteraksi sama dia sih." Mengusap hidungku yang terasa gatal. "Jadi lu mau deket sama Ardi, ya silahkan."

Ruby mengangguk. Dia menatapku kembali dengan keangkuhannya. "Berarti lo bakal bantu kan?"

"Iya."

"Lo udah pikirin cara-caranya kan?"

"Belum."

"IH IKHLAS GA SIH LO SEBENERNYA?"

Mulutku terbuka buat membalas ucapannya, tapi suara bel dari pintu gerbang membuatku mengatupkan kembali bibirku.

"Buka sana!"

"Dih? Kok gue?"

Ruby hanya memperdalam sandarannya pada sofa, lalu menunjuk kakinya yang terbalut gips. Mataku memicing, curiga kalau ternyata kakinya udah sembuh.

Berjalan sambil menghentak-hentak kaki—tanda kalau aku nggak ikhlas disuruh-suruh.

Lantas terkejut bukan main kala melihat sosok yang lagi nyengir di balik gerbang bersama tas ranselku di tangannya, dia melambaikan tangan. Sial. Kenapa dia malah muncul ketika aku sangat tidak ingin menemuinya?

"Areeeeng!"

Berjalan malas mendekati gerbang. "Ngapain lu?"

Dia mengangkat ranselku. "Nganter ini."

Meraih benda yang dia tunjukkan, lalu menatapnya sekilas. "Oke, thanks."

Ardi masih mempertahankan cengirannya, dan aku masih mempertahankan tatapan malasku.

"Yaudah, thanks, Ar." Mengulangi ucapanku, siapa tahu dia bakal sadar kalau itu kata lain dari, "Udah sana pulang!"

Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya, tentu saja masih dengan cengirannya. Uh, bikin kesel.

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang