k. Masih Malam Minggu

357 46 21
                                    

Oke, jadi aku sama sekali tidak mengerti maksud serta tujuan pemuda tampan yang sedang menutupi wajahnya dengan ponsel. Oh lihat lah betapa dungunya dia. Maksudku, mana ada seorang mata-mata yang menguntit targetnya tapi hanya menggunakan ponsel untuk menutupi wajah? Ah, bahkan tidak sampai setengahnya tertutup.

Kini dia melirikku, berkata tanpa suara. Mengerutkan alisnya dan terus mengulang gestur bibir seperti sebelumya. Aku yang tak mengerti dia bilang apa hanya mengernyit. Sampai pada akhirnya Ardi memukul kepalaku pakai buku menu yang lumayan tebal itu—ah, aku sampai lupa mengatakan kalau kami sudah duduk anteng di dalam kafe.

"Sak—" jeritku tertahan karena Ardi memelototiku. "Sakit sial!"

"Bacot banget, anjir! Nanti kita ketauan!" omelnya. "Lagi susah banget sih disuruh tutupin muka juga! Cepet tutup muka lo!"

"Eh idiot! Lo pikir kita nggak akan ketangkep basah apa kalo cuma nutup muka pake hape?"

"Ya enggak lah!" sanggahnya. "Eh tuh dia nengok-nengok ke arah sini!"

Menoleh ke tempat Tami duduk sendirian sejak nyaris 30 menit lalu, dan benar saja dia menyisir sekitar. Kepalanya sempat terkunci sesaat ke tempat dudukku yang hanya berjarak tidak sampai 3 meter darinya. Matanya menyipit, dan itu membuatku membatu, bahuku malah menegang. Sejenak ku pikir kita kepergok, tetapi kemudian Tami mengalihkan pandangan ke ponselnya.

"Argh!" Aku meringis akibat buku menu yang kembali diayunkan ke kepalaku oleh Ardi.

"Tuhkan! Hampir aja kita ketauan."

Menghela napas berat. Oh tugas fisikaku. Sialan! Kenapa aku malah terjebak bersama Ardi yang maksud serta tujuannya melakukan ini sama sekali tidak jelas? Sebelum kami masuk, aku bertanya untuk apa kita memata-matai Tami. Tapi dia nggak menggubrisku.

Ardi terus memerhatikan keberadaan Tami dengan seksama, dia menepuk-nepuk punggung tanganku di meja lalu memerosotkan tubuhnya lebih ke bawah. 

"Eh itu dia udah dateng!" bisiknya sambil menutup samping kiri wajahnya masih dengan ponsel.

Sebelah alisku terangkat ketika melirik ke tempat yang dimaksudnya. Lantas tertegun, mengerutkan kedua alisku dan memperjelas pandangan. Ini serius yang ku lihat? Dengan cepat memandang Ardi, aku berbicara dengan menutup sebelah kanan wajahku dengan selembar tisu. "Kok anak baru itu ketemuan sama Tami berdua sih?"

Ardi mengedikkan bahu. "Makanya kita ke sini buat nyari tau!"

Ketekunan kami untuk mendengarkan percakapan mereka tidak berbuah hasil yang bagus. Enggak ada sepatah kata pun yang terdengar dari sini. Ini sia-sia. Meskipun aku kepo, tetap saja ini buang waktu.

"Ar, pulang aja, yuk!"

"Ah tanggung!"

"Tanggung palalu meletak! Dari tadi aja kita nggak denger mereka ngomongin apa. Udah ah, ayo balik!"

"Bentar lagi deh." bujuknya. "Gue khawatir sama Tami."

Khawatir? Bukankah Harvio sepupunya? Untuk apa mengkhawatirkan teman yang jalan dengan sepupunya sendiri? Ini bukan seolah Harvio itu psikopat atau cowok mesum kan?

"Emang kenapa? Harvio orang jahat?"

Bukannya menjawab Ardi malah mengerjap. "Eh? Udah bener lu nyebut namanya?"

Aku tak merespon.

"Nggak bisa dibilang Pio jahat juga, tapi ...." Dia menjeda kalimatnya untuk mengambil napas. "Tapi gimana ya? Gue kenal Pio, dia orang yang menghanyutkan. Lu nggak akan bisa tau isi pikirannya atau apa rencananya. Dari luar dia emang keliatan cuek bebek, tapi bisa jadi dia pingin ngelakuin sesuatu yang enggak pernah orang duga."

Aku berusaha menepis pikiran negatif yang membelenggu di kepalaku setelah mendengar kalimat terakhirnya. "Yeah, selama dia 'melakukan sesuatu yang nggak pernah orang duga' dalam hal yang baik, ya gapapa dong?"

Ardi malah bengong.

"Udahlah, Ar. Itukan urusan Tami, gue tau kita mulai jadi deket satu sama lain, tapi gue pikir ini urusan pribadinya dia."

"URUSAN PRIBADI NDASMUUU!"

Dih? Kok dia malah ngegas sih? Aku kan bicara baik-baik.

"Mana ada sih urusan pribadi sama cowok yang pada kenyataannya mereka enggak pernah ngobrol di sekolah—ah, selain hari pertama Pio masuk. Emang pernah lu liat Tami interaksi sama Pio setelah hari itu? Enggak kan?! Terus kenapa tiba-tiba dia bisa ketemuan gini coba? Mereka nggak lebih dari orang asing, Ar."

Aku enggak penasaran banget sih soal Tami yang ketemuan sama si Pio itu, tapi yang lebih penting cowok di depanku ini tau dari mana coba mereka bakal ketemuan? Terlebih, kenapa pula dia begitu khawatir tentang Tami?

"Lu kenapa deh? Suka ya sama Tami?"

Ardi melirikku tajam. "Lu cemburu?"

"Dih? Gue nanya."

"Kalo iya, gimana?"

"Yaudah."

Pandangan Ardi menyipit ke arahku. Kerutan pada alisnya hilang, dia malah nyengir lebar. "Cie, Areng cemburu."

"Idih najis."

"Cemburu tuh."

Aku diam, malas menyaut karena dia akan terus mengejekku. Lalu ku bilang, "Terus dari mana lu bisa tau mereka mau pergi berdua?"

"Dia yang bilang."

"Dia?"

Dia berdecak pelan. "Dari Tami. Tadi sebelum ngajak lu pergi, gue ngajak dia dulu. Tapi dia bilang mau pergi kencan. Ya, gue curigalah. Orang kita trio jones, dia mana punya gebetan kan?"

"Tapi kok lu tau dia bakal pergi sama Pio?"

"Karena gue ketemu Pio di bawah."

Dahiku mengerut. Bawah mana yang dia maksud? Refleks bola mataku terarah ke bawah kakiku.

"Bawah kosan gue maksudnya."

Oh dia menyinggung soal kosan rasa istana itu. Aku berniat melanjutkan pertanyaanku, namun tanpa diduga Ardi berdiri. Dia berlari terburu-buru keluar kafe, aku menyusulnya. Menemukan pemandangan dramatis seperti dalam drama Korea yang suka Ruby tonton. Ardi mencekal pergelangan tangan Tami yang hendak memasuki mobil Pio, sedangkan Pio yang tengah membuka pintu untuk Tami menahan cekalan tangan Ardi pada Tami. Oh rumitnya.

"Lah? Lu kenapa disini?"

Ardi menatap dingin sepupunya tanpa ekspresi. Berbanding terbalik dengan Pio yang biasanya kekurangan ekspresi, kini dia tersenyum. Dan bagiku, dia terlihat lebih menawan. Aku menghela napas melihat adegan ini.

"Ayo balik, Mi." tutur Ardi.

"Tapi gue mau pergi sama Harvio."

"Jangan! Mending lo pulang bareng gue sekarang."

Ardi menarik Tami untuk keluar dari mobil BMW mewah berwarna putih yang ku duga milik Pio pribadi. Tami berhasil keluar mobil, dia terkejut melihatku. "Lu juga ikutan disini, Pink?"

Aku nyengir.

Ardi yang masih menggenggam pergelangan tangan Tami hendak berjalan meninggalkan Pio, namun cowok itu bersuara sambil menunjukku. "Kalo lo bawa dia, dia buat gue ya?"

Gila. 

Tapi sepatah kata sederhana yang dilontarkan Ardi selanjutnya malah membuatku merasa kecewa.

"Terserah."

(#)

ada apa lagi ini?
sakit ya jadi Pinka ;(

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang