u. Yang Terjadi di Perkemahan (2)

395 36 36
                                    

a-note.
puter mulmednya biar mantep!
mantep kuota lu terkuras. yha

(#)

"ARGHHH!"

Aku menjerit kala tubuhku jatuh terjerembab, berguling di turunan yang licin. Rasanya sakit sekali. Tubuhku berhenti terguling dengan posisi telungkup, lalu wajahku masuk ke genangan air lumpur. Oh sialan. Aroma tai kambing memasuki hidungku.

Mengusap bagian mataku yang tertutup lumpur, lantas mengerjap. Tanganku berusaha menopang berat badan agar bisa bangkit berdiri. Tanah yang basah membuatku kesulitan untuk bangun.

Krek!

Ditambah—mungkin terdengar lebay—
sepertinya tulang-tulangku terasa remuk.

Sayup-sayup ku dengar suara tawa Gio yang kian mendekat. Dasar sialan. Bukannya membantu, malah menertawakan.

"Lo ngapain lari sih, idiot!" katanya dilanjutkan tawa.

Masih kesusahan di tempat, tanganku terus tergelincir di permukaan lumpur ini. Begitu pun lututku. Egh, pengin nangis. Ini sakit, serius. Akhirnya, berhenti berusaha. Lantas aku hanya tengkurap di atas lumpur.

Bibirku terbuka untuk bersuara, lalu mengecap. Sepertinya gusiku berdarah, karena lidahku merasakan rasa darah. Aku menelan ludah setelahnya.

"Mending bantu gue bangun." saranku pada Gio.

Dia berdecak sekali. Lantas mengulurkan tangannya, lalu ku raih dengan tanganku. Gio menarikku kasar.

"ISH SAKIT!" kesalku.

Dia melepas tautan tangannya begitu saja, membuatku jatuh lagi. "AISH SAKIT ANJIR!"

"Astaga. Dibantuin salah, nggak dibantu makin salah. Mau lu apaan, tayi?"

"Bisa lembut dikit nggak sih? Tulang gue sakit semua."

Dapat ku dengar decakannya lagi. Kali ini dia lebih hati-hati, memutar tubuhku supaya telentang, lalu menopang bahuku dahulu supaya terduduk. Dia menghela napas sekali, lantas mengedutkan senyum. "Muka lu kayak sate, udah gosong ketutupan cokelat-cokelat pula."

"Anjing."

Gio malah tertawa. "Dasar idiot, cocok banget dah lo sama Shaka."

Aku berdecak. "Bacot. Udah cepet bantuin gue bangun."

"Ck, nyusahin lu, tayi." keluhnya. Dia perlahan menarik lenganku sembari menopang belakang punggungku. Gio setengah berdiri, menarikku lagi sampai tubuhku berdiri sempurna. "Tadi lo ngapain lari sih? Ngagetin bego! Gue pikir ada jurig."

"Mampus kan jatoh." lanjutnya.

"Itu kuping apa tetelan? Yang ngagetin tuh suara tawanya si tante, makanya gua lari. Emang lo kaga denger apa?"

Gio terbahak. Menyentuh bagian perutnya yang tertutup hoodie, lantas menahan posisi berdirinya dengan menyentuh bahuku. "Tadi tuh—" katanya disela tawa. "Itu suara ringtone hape gue. Gue lupa ganti, anjay."

Gio berhenti tertawa, menegakkan posisi tubuhnya dan menatapku. Kemudian dia tertawa lagi, lebih kencang.

Gio berhenti tertawa, lalu memainkan ponselnya sembari berkata, "Kok lo cengo sih? Anjir, lo sadar nggak apa? Muka lo beneran minta dicela."

Aku diam. Terlalu malas—ah salah, terlalu sakit jika bergerak atau bahkan membuka suara untuk memakinya. Mendadak kilatan cahaya muncul di depan mataku.

"Sialan. Yo, apus anjir. Jangan menjatuhkan harga diri gue yang emang udah nggak berharga lagi."

Gio memerhatikan layar ponselnya, tersenyum. Pertanda puas akan hasil jepretannya. Sekali lagi, otot tubuhku tak bisa sama sekali ku gerakkan. Terlalu sakit. Yang ku bisa hanya melirik pasrah Gio—bocah itu sepertinya telah menyebar luaskan foto aibku barusan.

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang