b. Perbandingan yang Tak Sebanding

852 61 2
                                    

Hai, aku Pinka Laura. Oh, oke. Aku sudah memperkenalkan diri kemarin.

Lengkapnya, aku anak tunggal yang punya orang tua tunggal. Mama telah pergi ke surga kurang lebih 2 tahun lalu, tepat saat aku baru lulus SMP.

Papa menikah lagi dengan seorang ibu tunggal yang memiliki anak perempuan seusia denganku. Jadi, sesaat sebelum aku masuk SMA, aku mendapat saudara tiri. Akhirnya kami daftar di sekolah yang sama. Tapi bukan berarti si saudara tiriku akan menjadi teman akrabku di SMA ini.

"Pura-pura aja kita nggak kenal. Ngerti?"

Aku ingat jelas bagaimana ekspresi jahatnya ketika bilang hal tersebut, pada saudara barunya yang gembira tanpa dosa waktu itu. Gembira sekali hatiku saat berekspektasi bahwa kami akan akrab dan melakukan hal-hal menyenangkan bersama. Tapi semuanya pupus karena dia bilang begitu padaku.

Namanya Ruby Merah Delima. Namanya aneh, ya nggak? Berbanding terbalik denganku, dia sangat cantik. Kulitnya putih langsat dan dia wanita yang anggun, meski jutek dan cuek.

Aku tahu mungkin alasan Ruby enggak ingin teman-teman tahu kami saudaraan karena nggak akan ada yang percaya.

"Lo tau nggak, Mi. Cewek itu...." Telunjukku menuntun pandangan Tami ke arah Ruby yang duduk sendirian di kursi kantin. "Dia kakak gue."

Tami terbahak sambil memukul-mukul meja dengan lebai. "Ngaco aja lu." kata Tami, sembari memegang perutnya. "Pink, gue tau lu pengen banget punya sibling, tapi jangan anak orang lu aku-akuin."

Lalu Ardi muncul dan duduk di sebelahku sambil ikut tertawa.

"Kok lu ketawa, Ar?" kataku. Nggak yakin Ardi menertawai hal yang sama.

Sesaat Ardi menyipitkan mata untuk menatapku. Dan aku seolah mengerti arti tatapannya. Kami bertelepati, Ardi berkata bahwa, "Jangan panggil gue dengan sebutan itu."

Aku pun menatapnya dan menaikkan dagu seolah berkata, "Terserah gue dong!"

Ardi tak membalas telepatiku. Tapi dia dengan sangat polos berkata, "Nggak tau." Dia terkekeh. "Tami ketawa, gue ikutan aja. Kan kita berdua belahan jiwa."

Aku hanya berdecak dan menggelengkan kepala. Dasar bodoh.

"Bego ish." hinaku.

Tami berujar, "Gue sih mau aja, Di, jadi belahan jiwa lu. Tapi gue nggak suka sama lu."

Tami mengedarkan pandangan ke seisi kantin, lalu menunjuk seseorang siswa yang memakai jaket denim berwarna merah maroon sedang berjalan di sela keramaian.

"Gue sukanya Gio. Yang ada rasa bad-bad nya gitu." katanya.

Ardi tersenyum meremehkan. "Gio udah punya pacar kali," ujarnya yang membuat Tami terbelalak.

"Gila! Info dari mana, tuh? Ngarang aja lu."

"Serah lu kalo nggak percaya. Nanti juga heboh satu sekolah."

Aku melihat sosok yang Tami tunjuk tadi. Bahkan aku aja tidak tau dia siapa, gimana bisa heboh?

"Dia siapa?" tanyaku.

Ardi merangkulku tiba-tiba. "Bego lu, Ar! Masa nggak tau?" katanya. Sembari menyentil dahiku dengan tangan kirinya.

"Aish." aku mengeluh. "Sakit kampret!"

"Maaf maaf." Tangan Ardi kembali menyentuh dahiku, kali ini mengelus lembut. Lalu setelahnya mencubit kedua pipiku dengan gemas.

"Jangan pacaran depan gue. Bisa?"

Seketika Ardi mendorong dahiku ke belakang dan melepas rangkulannya. Bocah sialan.

"Tolong, Tami, jangan-salah-paham." Ardi menekankan tiga kata itu. "Kita kan belahan jiwa, Tami."

"AISH! ITU SIAPA TADI?!" Aku berteriak frustasi.

Ardi selalu ganggu obrolanku. Tami mesem-mesem dan berkata, "Dia calon mempelai gue nanti."

"Serius, gila!"

"Cowok yang Tami suka." saut Ardi.

"Sejak kapan?"

"Sejak Tami nggak mau jadi belahan jiwa gue."

"Bodo amat, Ar."

"Gue emang suka dia, Pink."

Aku mengernyit dalam, mendengar ungkapan Tami. "Kok gue baru tau?"

"Gue sering cerita kok."

Aku berpikir sejenak, lalu ku tepuk keras punggung Ardi sambil memekikkan kata 'oh' dengan kencang.

"Anjrit! Sakit, nyet!" umpat Ardi. Dia memegangi punggungnya.

"Jadi dia raja bolos dan pemain wanita yang lo bilang itu?"

Tami hanya menaik-turunkan alisnya. Mataku mengikuti langkah cowok yang Tami tunjuk. Dia duduk di atas meja dimana ada Ruby. Sepertinya tuh cowok sedang mencoba mengganggu saudara tiriku. Aku terus memperhatikan mereka, sampai saat buku yang Ruby baca disiram pakai segelas es teh di tangan cowok gila itu.

Tanganku menggebrak meja, lalu aku berteriak. "Woi, ganteng! Ngapain lu gangguin kakak gue?!" kataku, sembari berjalan ke meja Ruby.

Tadinya aku mau bilang jelek, bukan ganteng. Tapi aku ngaca lah ya, itu namanya membunuh diriku karena yang jelek kan aku.

Dia mengernyit. "Kakak?" Lalu dia tertawa. "Woi, ngaca! Muka lo tuh kayak pantat panci, tinggi lo kayak pohon kelapa, urakan dan bener-bener kayak tarzan. Gimana bisa jadi adek-kakak?"

Ish!

*Byurrr*

Aku menyiram wajahnya dengan es susu cokelat di meja, yang ku rasa milik Ruby.

"Balesan karena bikin buku Ruby basah!" Buku yang Ruby baca adalah hasil uang jajan yang ku kumpulkan seminggu penuh. Karena meminjam celana jeans miliknya tanpa permisi, jadi aku disuruh bayar pakai buku.

Cowok itu mengacak rambut frustasi. "Kurang ajar lo!"

Dia berdiri, melompati bangku untuk mendekat ke arahku. Dia berusaha mendorong bahuku dan membuatku jatuh. Tapi karena aku nggak selemah itu, dan tinggi badan kami hampir sama, maka dia tak bisa menjatuhkanku.

"Apa lo?! Mau jatuhin gue?" Aku tertawa meremehkan. "Dasar kerdil!"

Iya, dia cuma lebih pendek sekitar 4 centimeter dariku kayaknya. Tapi tetap aja kerdil. Ardi saja masih lebih tinggi dari aku.

Aku meringis ketika dia menendang kakiku. Ish. Udah kerdil kasar pula.

"Lo tuh harus berkaca, biar sadar dikit. Seenggaknya harus cari yang sebanding buat diakuin sebagai kakak kali!" tukasnya.

Belum selesai sampai situ. Dia mengambil ponsel disaku celananya, dan menunjukkan layar redupnya yang hitam ke wajahku.

"Nggak keliatan kan muka lo?" Dia tertawa. Lalu mengalihkan layar ponselnya ke wajah Ruby. "Dia aja masih keliatan tuh," katanya.

"Ngertikan? Lo nggak sebanding buat bilang dia itu kakak lo! Lagian lo siapa sih, ikut-ikut urusan orang aja!" bentaknya.

Kemudian dia beralih menatap Ruby sambil bertanya, "Dia enggak beneran adik lo kan?"

Ruby tertunduk menatap bukunya yang basah, menutup buku itu dan merengkuhnya. Dia beranjak dan menendang kaki cowok tersebut, lalu pergi dari kantin tanpa menjawab si kerdil itu.

"Tuhkan dia pergi." katanya. Tangan kanannya mengusap kaki yang bekas ditendang Ruby. "Dia kabur karena malu diaku-akuin jadi kakak lo tuh."

Aku hanya diam, dan menyaksikan cowok menyebalkan itu pergi dari hadapanku.

"Uh, Arengku yang tangguh!" Ardi merangkulku dan menyeretku pergi diikuti Tami.

Tami tertawa. "Pink, lu gila ya sampe bilang dia kakak lu?"

(#)

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang