v. JEDAR! Kilatan Mengejutkan

455 42 25
                                    

Tiga hari berlalu, memasuki sekolah seperti biasa. Kakiku sudah lumayan betul jalannya, bekas lecet di beberapa bagian tubuhku juga sudah memudar. Siang ini, aku duduk berhadapan dengan Ardi di kursi kantin, sahabatku satu lagi-Tami sedang memesan makanannya.

"Ar, gue sebel sama lo."

Menaikkan sebelah alisku. "Lah? Kenapa?"

"Akhir-akhir ini lo terlihat lemah, lo cengeng. Udah dua kali gue liat lo nangis dalam waktu kurang dari sebulan."

"Lo sebel sama gue gara-gara itu?"

Ardi memilih diam, memutar bola mata sembari manyun. Sebenarnya, aku merasa najis bilang gini-tapi kenapa dia malah terlihat imut? Dia menghela napas sesaat. "Bukan itu. Liat lo yang lemah begitu malah bikin gue juga jadi lemah. Lo tuh sumber kekuatan gue, Ar."

"Najis." hinaku. "Gue tau Ar, lo emang lebay sejak lahir, tapi nggak gitu juga kali. Kekuatan gigi lu seribu! Emangnya lo Superman perlu kekuatan segala?!"

Dia berdecak.

"Ar, manusia biasa juga perlu kekuatan. Lo tau kenapa air mata muncul ketika kita terluka fisik maupun hatinya?"

Ardi menatapku dalam. Terlihat keseriusan dari nada bicara maupun kilatan matanya.

"Karena ketika manusia terluka, kekuatan mereka berkurang. Makanya, air mata itu refleksi dari sisi rapuh manusia. Dan saat air mata itu muncul, maka saat itu pula manusia butuh dukungan untuk menguatkan mereka."

Cih, kenapa Ardi yang idiot mendadak bijak?

"Nah, lo yang aneh. Bukannya lo harus dukung gue biar gue kuat lagi?"

Arti tertawa sengaja. "OH jadi, pelukan gue yang menghangatkan kemarin nggak lo anggep dukungan? TEGANYA DIKAU!" tuturnya berlebihan seraya geleng-geleng kepala. "Hoodie abu-abu kesayangan gue kemaren yang belepetan ingus sama air mata lo menjadi saksi, Ar, kalo gue mendukung lo, jiwa maupun raga."

Mulai hiperbolis. Dasar raja drama. "Bacot."

"Mulai dah, ribut lagi. Udah adem ayem kemaren peluk-pelukan juga."

Tami berkata sembari duduk di samping Ardi dengan membawa nampan yang bertengger mangkuk ayam jago di atasnya, as always. Isinya soto ayam dengan selautan sambal (lebay banget)-membuat kuah dari sotonya berubah merah.

"Najis. Gue khilaf meluk dia."

Ardi berdecih. "Munafik. Gue tau lo selalu tergoda sama keseksian badan sixpack gue."

"NAJIS!" ketusku. "Wah, elu kayaknya harus cek kejiwaan. Gimana bisa kepedean lu jadi makin over disaat umur lu yang makin nambah?"

Ardi berdecak sambil mengerling padaku. "Ayolah, akuin aja kalo pelukan gue kemarin emang bikin nyaman. Yakan? Yakan?"

Ardi menopang dagu dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja, lantas dia mengedipkan kedua kelopak matanya sesekali. Dia mendekatkan wajahnya padaku. Anjir, pengin ku tabok.

Egh, kalau tau bocah ini akan terus mengungkitnya, aku tak sudi memeluk dia. Berdecak pelan, lantas membuang napas. Yah, mau gimana dong? Kehadirannya memang menyebalkan, namun tanpa hadirnya menggelisahkan.

"Egh, ya ya ya. Pelukan lo emang sedikit nenangin gue." akuku. "Jadi ... makasih."

"UWUUUUUWWW!" pekik Tami riang. "Manis banget sih kalian! Seharusnya gue rekam adegan barusan."

"Diem lu!"

"Areng mah susah diajak manis-manisan sama gue."

"Lo juga diem deh! Jangan sok manis. Lama-lama gue mual."

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang