e. Pinka si Tak Tahu Apa-Apa

550 57 3
                                    

"Areng?"

"Lah Ardi?"

Aku mengernyit. "Rumah lo di sini?" kataku, sembari menunjuk kontrakan mewah itu.

Dia menganggukkan kepala sambil berkata, "Iyah." Disertai ekspresi sok manis yang menjijikan.

Wah, aku benar-benar nggak tahu apa-apa.

"Oh," kataku. "Lo kenapa gak masuk sekolah?"

Ardi diam sesaat, cekikian menatapku.

"Jahilah. Cie, cieee." Ardi memicingkan matanya, menggodaku dengan kekehnya. "Kenapa? Kangen ya makanya nyari gue ke sini?"

Dih, ide dari mana tuh?

"Gue sakit." Dia mulai berekspresi sok manis yang minta dikasihani. "Nih sentuh aja, anget." lanjutnya, sambil memajukan wajahnya ke arahku.

Aku menuntun jari telunjuk untuk menyentuh pipinya, memang hangat sih. Tapi—"Kalo sakit kenapa ngendarain motor keluar rumah?"

"Ya kan sakit panas doang, gak pusing."

Masa sih? Biasanya aku kalau sakit panas, sepaket dengan pusingnya.

"Lah? Tetep aja kan kalo sakit harusnya istirahat di rumah, biar cepet sembuh dan gak tambah sakit."

Ardi tersenyum lebar, melirik kanan-kiri dan menatapku. "Wah lo perhatian banget deh sama gue! Jadi terharu!"

Terserah. "Oiya. Halte bus, yang-paling-deket dari sini lewat mana?" ucapku sambil menekankan kata 'yang paling deket'.

Dia melirik ke kanan, berpikir. "Gue gak yakin sih, itu termasuk deket atau enggak. Tapi lo harus lurus 2 blok dari sini, belok kanan dan ngelewatin 2 blok, terus belok kiri ngelewatin 3 blok." Dia menjeda ucapannyanya, menekuk jari-jarinya dan komat-kamit.

"Kira-kira, satu kilo lebih lah dari sini." kata Ardi lagi.

Sadis! Jauh juga.

"Lo mau balik?"

"Menurut lo aja,"

"Mau gue anter gak?"

Menaikkan sebelah alisku. "Gratis?" tanyaku. Ardi menaikkan kedua alisnya sesaat sebagai jawaban.

Dibonceng Ardi nggak terlalu buruk, meski dia berisik banget.

"Ar, peluk gue dong!"

"Idih."

"Ih peluk, Ar!"

"Najis lu! Gua lompat nih, kalo lu menjijikkan begitu!"

Ardi hanya tertawa-tawa. Dia benar-benar aneh.

Aku sampai di depan rumahku yang cukup jauh dari kompleksnya Ardi, mencopot helm dan menyerahkannya ke Ardi. "Makasih," ucapku.

Mataku menatap khawatir ke cowok ganteng tapi bego di hadapanku. "Lo yakin kuat ngendarain motor sampe rumah?"

Ardi tertawa. Aku bingung.

"Sumpah. Gua terharu dikhawatirin kayak gini."

"Lebay, tayi."

Dia masih belum berhenti tertawa, aku hanya tersenyum.

Jadi ini yang namanya sambil menyelam minum air. Eh? Bukan. Sekali menyelam satu dua pulau terlampaui.

Selain aku sudah menyampaian amanat ke satpam rumah Gio agar tuh anak datang ke sekolah besok, sekarang, telah ku ketahui juga rumah Ardi.

Eh?

Tunggu deh—"Lah? Berarti lo tinggal di tempat yang sama kayak Gio dong?!"

"Ya ... bisa dibilang gitu. Kenapa?"

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang