B ˹Belum Baikan˼

324 36 15
                                    

"ETDAH. LU BILANG GITU KE ARDI?"

Meski sakit, suara Tami tetap membahana. Membuatku mencubit lengannya agar dia enggak berisik karena di luar kamarnya, Ardi dan yang lain sedang mengobrol. Kami sedang menjenguk sahabatku ini, ternyata dia sakit gejala tifus.

"Gila lu, Pink! Dia emang idiot, tapi masih punya hati." katanya dengan suara lemah. Ku raih bantal terdekat dan merebahkan diri di sampingnya.

"Ah bodo amat. Lagian, seenaknya aja nyuruh gue cerita apa-apa sama dia, tapi dia sendiri apaan? Mana pernah coba dia ceritain masalahnya ke gue? Bahkan hal remeh kayak, dia sepupuan sama Gio atau kontaknya aja gue nggak tau," keluhku. Lalu menghela napas kasar. "Gue kayak nggak dianggep temen."

"Dia juga nggak cerita ke gue, tapi gue tau sendiri tuh."

"Ya seharusnya kan dia cerita duluan ke kita, Mi."

"Nggak harus kali, Pink. Lu yang musti lebih peka."

"Yaudah, kalo gitu gue juga nggak kudu, wajib, mutlak, cerita ke dia kan?"

Tami menghela napas sembari terbatuk-batuk. "Au ah. Ntar juga baikan lu bedua."

"Males amat."

"Enggak boleh gitu lu, Pink. Kata babeh gue, kaga boleh marahan lebih dari tiga hari, dosa."

"Belom nyampe sehari juga tuh."

"Yee makanye, jangan ampe tiga hari." Tami menoyor kepalaku pelan. "Lu harus minta maap ke dia, lebih cepet lebih baek."

Harus banget aku yang minta maaf terlebih dahulu? Biarkan aja lah. Toh kalaupun marahannya lebih dari 3 hari, kan yang dosa bukan cuma aku, Ardi juga. Tunggu dia minta maaf duluan aja lah, kayaknya sampe 3 hari ke depan kekesalanku belum akan pudar.

"Mi, gue masuk ya?"

Suara Ardi muncul bersamaan dengan derik pintu yang terbuka, menampakkan sosok Ardi dan Gio. Refleks posisi telentang nyaman sekaligus rokku yang tersibak manja tadi, berubah menjadi duduk bersila. Ekspresiku kini menjadi asam. Kakiku menuruni ranjang, hendak keluar kamar.

"Sini aja, Pink. Temenin gue. Kata babeh gue nggak baek cewek sendirian ama cowok-cowok."

Persetan. 

"Yaelah, buka aja si pintunya."

"AC nya kagak berasa, Bolot."

Kicep. Dengan terpaksa, aku duduk di kursi belajarnya. Berdiam diri tanpa minat sedikit pun buat nimbrung percakapan mereka. Ardi duduk di pinggir ranjang, sedang Gio duduk di ubin dengan tampang 11-12 macam gembel rel. Dia melirikku tajam, kemudian menjulurkan lidah. Yang ku lakukan hanya berdecih sembari melengos.

"Eh jelek. Tumben lu anteng banget kayak bayi monyet."

BACOT.

Tak ku gubris ucapannya, sehingga Tami memperingati pacarnya itu. "Gioooo, dijaga mulutnya, Sayang."

Bahuku mengedik, merinding. Ku akui, diriku pun punya pacar. Namun mendengar pasangan yang berucap mesra di dekatku tuh, kenapa rada jijik juga ya? HAHA.

Mulut bawel Gio tak kunjung berhenti berbicara. Lalu dia malah menyinggung topik sensitif hari ini, "Marahan lu berdua?"

Hening.

"Etdah, lu emang hebat bikin orang kesel yak, Ling. Abis marahan ama Ruby, berantem lagi ama Shaka."

Tersinggung, bukan hanya karena menyadari sapaan 'Ling' yang berarti 'Keling', sebab dia juga bilang aku yang bikin orang lain kesal. Kaki ku beranjak berdiri. Gio yang terkejut, menutupi kepala dengan kedua lengannya. Mungkin dia mengira, bakal kena tendanganku. Namun aku berjalan melewatinya seraya berkata, "Gue balik, Mi."

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang