g. Gio itu Sumber Masalah

531 45 7
                                    

"Apaan nih?"

Ardi dan Tami mengernyit menatap buku catatan berukuran A5, cover-nya bergambar beberapa flamingo berwarna merah muda dengan warna dasar krem. Dalam lembarannya aku menuliskan beberapa pertanyaan dengan judul nama mereka.

"Buku pertemanan."

Ardi membuka buku itu, membolak-balik setiap lembarnya. Kemudian dia terbahak. "Anjir. Lo anak esde, Ar?"

Tami ikut tertawa setelah ikut membuka isi buku itu.

"Sebutkan cita-cita konyol yang pernah lo inginkan. Sebutkan berapa saudara lo, sepupu lo dan anggota keluarga lo beserta nama-nama mereka. Sebutkan makanan, minuman, warna dan benda favorit lo." kata Tami membaca beberapa tulisanku, diikuti tawa super kencang setelahnya.

"Dasar bocah." ejek Ardi, lalu dia mengambil pulpen dan mulai mengisinya.

Aku tersenyum. "Ya, abis kan kita udah sekelas dari tahun lalu dan lalunya tapi nggak tau tentang masing-masing."

"Bagus bagus." Tami menyenggol pelan lenganku.

"Eh lu tau udah tau, Mi? Kalau neneknya Ardi itu yang punya sekolah ini?"

Tami terbelalak. "Hah? Serius? Anjir. Baru tau gue."

"Wah, Ar. Lo kayaknya emang punya banyak rahasia ya." ucapku.

"Ini bukan rahasia kali. Lo bedua aja bego."

"Dih? Songong."

"Kayak lo pinter aja, Di."

"Ya, kan dari nama gue juga udah ketara kali. Pemilik sekolah ini atas nama mendiang kakek gue, dan sekarang nenek gue menjadi pemilik sahnya."

"Emang nama kakek lo siapa?"

"Lo nggak pernah ke kantor guru? Lu nggak pernah liat di dalem rapot atau surat edaran sekolah? Di kantor tata usaha?" tanya Ardi bertubi-tubi. "Ah bego lo mah, Ar."

Tami tertawa. "Wajarin aja, Di. Yang dia perhatiin kalkulus sama persamaan lingkaran."

"Ar, hidup terlalu keras kalo isi otak lo cuma ada pelajaran."

Aku berdecak. "Gausah sok mengajarkan kerasnya hidup ke gue." Berdiri dari kursi, aku menatap mata Ardi lekat. "Ar, hidup terlalu berat kalo isi otak lo terlalu ringan."

Sambil nyengir lebar, kakiku pun memulai langkah seribu setelah Ardi ikut berdiri dari kursinya. "Kampret!"

Ya, kita kejar-kejaran. "Woi berenti lo, Shadow!"

Aku cuma tertawa-tawa tanpa menghentikan langkah. Sepanjang koridor, setiap lantai, kami masih kejar-kejaran. Tawaku menggema, meski aku tau pasti muka bahagiaku nggak enak dipandang sama seluruh isi sekolah. Akhirnya langkahku terhenti ketika seseorang menubrukku dari balik belokan koridor. Aku terhempas dan jatuh, begitu juga orang itu.

"Ish! Bego! Ngapain si lari-larian di koridor! Dasar bocah!"

Ck, kayaknya peruntunganku mulai berkurang akhir-akhir ini. Selalu aja dia yang jadi masalahnya.

"Cih, lo aja yang bego. Bukannya liat-liat dulu kalo mau belok!" cercaku.

"Dih? Lo tuh lebih bego dari yang terbego! Lo pikir ini taman rekreasi? Lari-larian aja kayak bocah kurang jajan!"

"Aish! Lo tuh yang terbego dari yang begonya seratus kuadarat! Lagian, dari tadi nggak ada tuh yang nabrak gue meskipun gue udah lari berapa puteran!" Menghela napas dengan kesal. "Emang dasar lonya aja bego!"

"Argh, udahlah. Nggak akan kelar ngomong sama manusia bego." Gio berdiri, menepuk bagian bokong celananya. "Aish! Nggak usah melotot lo sialan!"

Idih? Aku nggak melotot!

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang