d. Pencarian Gio

601 52 3
                                    

Kalian tahu yang tersial dari kesialan yang menimpaku? Aku sudah ke alamat rumah yang diberikan Lili, alamat rumahnya asli. Dan ternyata itu adalah kawasan perumahan elite yang tak terjangkau oleh kendaraan umum. Sehingga aku harus merelakan uang jajan--yang ku kumpulkan untuk membeli kaset instalasi game seri terbaru--untuk mencari si Gio, dan hasilnya nihil. Aku sama sekali nggak ketemu Gio.

Tapi, selalu ada hikmah dari setiap kesialan. Karena aku sempat makan malam di rumah mewah milik eyang putri-nya Gio. Serius deh, rumahnya besar dan mewah.

"Gio itu memang sudah nggak tinggal di sini lagi, mbak ayu."

Beliau memanggilku 'ayu', karena itu Bahasa Jawanya cantik. Sepertinya eyangnya Gio nggak 100% membuka matanya saat melihatku kemarin. Haha.

"Gio tinggal di rumah lain sama sepupu-sepupunya. Di sini saya tinggal sendirian karena anak-anak saya semuanya sudah berkeluarga."

"Eyang kesepian dong?"

"Iya, makanya mbak ayu temennya Gio harus sering-sering kesini."

Hihi. Eyangnya Gio baik banget deh. Kalau ingat saat pulang kemarin, aku bahkan dihadiahi sekotak donat serta 2 kotak piza yang salah satu anaknya beli ketika berkunjung pada siang harinya.

Ruby dengan sumringah menerima sekotak piza yang ku bawa. Padahal tadinya dia mau marah-marah karena aku pulang tepat 10 menit sebelum jam malam kami.

Hari ini, aku bilang pada Lili bahwa rumah yang kemarin itu bukan tempat tinggal Gio. Tapi Lili memaksaku buat tetap mencari Gio dan menyeretnya ke sekolah. Berdasarkan informasi dari Lili, cowok itu masuk hanya sehari saat minggu kemarin. Padahal kami sudah ada pada minggu ke-dua di semester ini.

"Ardi kemana, Mi?" kataku.

"Meneketehe. Kok tanya gue?"

"Lah? Lu kan belahan jiwanya." kataku disertai kekehan.

"Lu abis dari mana?"

Aku hendak berucap jujur namun tertahan. Ragu, karena temanku ini super kepo. Dia bisa nanya panjang lebar sampai ke dasar tentang tugas rahasianya Lili padaku.

"Toilet." jawabku. Ku lirik meja Ardi dan menemukan hal ganjil. "Kok tasnya Ardi enggak ada?"

Tami mendaratkan bokongnya di kursi depan mejaku. "Ish, lo nggak peka banget si, Pink! Ardi nggak masuk, lu gak sadar?"

Enggak. Serius. Bahkan ini sudah jam istirahat pertama, tapi aku bahkan tidak menyadari bahwa Ardi absen? Wah, Pinka benar-benar terhipnotis oleh tugasnya Lili.

"Tumben. Kemana tuh anak?"

Tami berdecak. "Etdah, nanya lagi, si bolot." katanya, dengan aksen Betawi yang khas.

Aku hanya tertawa. Tami ini orang Betawi, yang katanya ada darah Arabnya juga. Dia sering berbicara dengan Aksen Betawi, bahkan sering pula dia latah.

Nama aslinya, Cintami Kasih. Tapi gadis dengan senyum manis itu bilang dia nggak suka dipanggil Cinta, entah alasannya apa. Aku mengenal Tami sejak kelas 2, kami di kelas yang sama. Dan sejak itu, aku dan Ardi menjadi akrab dengan Tami.

"Coba lu chat Ardi, tanyain kenapa dia kaga masuk." perintah Tami padaku.

Tanganku membuka ponsel, menggulir daftar kontak yang ku simpan. Namun seketika aku menyadari bahwa diriku ini bego. Parah. Bagaimana bisa dua tahun sekelas dengan Ardi, tapi sama sekali aku enggak tahu nomor ponselnya? Bahkan, aku tidak tahu Ardi anak ke-berapa, saudaranya berapa, dan rumahnya di Bumi atau Mars.

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang