y. Istana WW Bersaudara

434 36 9
                                    

Malam Minggu sama dengan malam kelabu. Tapi itu dulu, waktu masih jones. Setelah melepas gelar jombloku, malamku menjadi penuh warna. Oh sombongnya.

Tiap harinya, ada saja perlakuan Pio yang membuat kupu-kupu berterbangan di perutku. Dia juga selalu sukses membuat pipiku menjadi semerah tomat. Contohnya, malam ini. Dia mengajakku untuk makan malam. Berdua, tentu saja. Pio menjemputku bersama mobil Mini Cooper yang pernah Ardi bawa waktu itu.

"Ada orang di rumah?" tanyanya begitu keluar dari dalam mobil. Langkahnya mendekat ke tempatku berdiri di pintu gerbang.

Bergeming, belum menjawab karena masih berpikir. Kalau ku bilang 'nggak ada' itu namanya bohong, dan hal itu salah. Oh naifnya. Aku hanya tak ingin bohong ke pacarku.

"CUIH DASAR BUCIN!"

Astaga. 

Mendadak aku mendengar teriakan Ardi dalam pikiran. Haha

"Enggak ada."

"Demi apa?" Pio terlihat terkejut. Kilatan matanya menunjukkan ketakutan, lalu telunjuknya terarah ke satu titik di belakangku. "Terus itu apaan? Apa cuma aku yang liat?"

Membawa pandangan mata ke arah yang di tunjuknya, lalu mengernyit dalam. "O-oh, aku liat kok. Itu kakak aku."

Pio membuang napas lega. "Ish, ngagetin aja."

Aku terkekeh. Lalu mengalihkan perhatian ke saudara tiriku yang terlihat sangat rapi serta beraroma sangat harum. Dia mandi parfum ya?

"Lu mau kemana, By?"

Ruby memandangku. Setelah menyadari keberadaan Pio dia tersenyum padanya. "Makan."

"Sama siapa?"

Bersaman dengan itu, suara decit rem terdengar diikuti suara klakson motor yang sangat familiar di telingaku terdengar. Si pengemudi menapakkan sepatu hitam bertalinya di atas aspal, lalu membuka kaca helm.

"Eh?" Dia pura-pura kaget. Lalu dia menyapa kami­−lebih tepatnya aku dan Pio. "Halo pasangan baru yang lagi anget-angetnya!"

"Semoga cepet berakhir ya hubungannya!" lanjutnya. Dia cengengesan kemudian setelah ku layangkan tatapan seperti hendak menerkamnya. "Berakhir ke pelaminan maksud gue, Ar. Elah gitu doang! Jangan sensi dong!"

"Ayo, Ar." ucap Pio yang membukakan pintu mobil untukku.

Melangkah mendekat, hendak memasuki mobil namun suara Ardi mengehentikanku. "Hang out nya berempat aja yuk! Gimana? Lo nggak masalah kan, By?"

"Gue sih nggak apa. Tapi mereka kan­−"

"Boleh deh." potong Pio tanpa terduga.

(#)

Ku pikir, Harvio Sahasika ww itu punya tujuan yang jelas. Ternyata tidak. Kami pun berakhir dengan berkendara sampai ke rumah kontrakan yang ku curigai sebagai istana itu−­iya, rumah ww serangkai.

"Nggak papa, Ar, makan di rumah gue aja?"

"Iya santai aja. Kita delivery aja, bisa nggak sih?"

"Bisa, tapi kurirnya cuma bisa nganter sampe pos satpam depan portal sana."

Aku enggak punya pilihan lain. Sejak 1 jam lalu perutku udah keroncongan sampai begetar-getar disko. Ternyata Pio sama bodohnya dengan Ardi. Bagaimana bisa dia mengajakku makan malam tapi kebingungan hampir setengah jam untuk menentukan tempat makan. Kita hanya berputar-putar menghabiskan bensin sampai akhirnya Ardi menyuruh kami menepi.

"Eh Pioupil! Lu ngerjain gua ya? Dasar kambing! Lu enak anget dalem mobil muter-muter keliling kota, lah gua naek motor ini masuk angin! Kasian nih Ruby, makan angin dari tadi ampe kenyang." 

Ar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang