Godaan Iman

2.2K 100 5
                                    

"Seperti menari takjim sendirian di antara kabut pagi di sebuah padang rumput yang megah dan indah
Dan meski tidak tersampaikan, tidak terucapkan, demi menjaga kehormatan perasaan, kita selalu tahu itu sungguh tetap sebuah cinta"
~Tere Liye~

Suara ketukan pintu mengiring langkah kaki Sasya menuju pintu rumah. Memutar kenop lalu membuka pintu. Bola matanya menangkap sosok pemuda berjaket dasar hitam dengan sedikit kombinasi orange. Jelas sekali bahwa dia adalah kurir pengantar paket. Pemuda tersebut mengulum senyum ramah kemudian mengucap salam.

"Benar dengan kediaman Alif Ali Abqari ?," tanya sang kurir sopan.

Sasya mengangguk," Bener."

"Saudara Alifnya ada ?."

"Kak Alif lagi dikampus."

"Kalau begitu saya titip ke anda saja suratnya yah !." Sang kurir menyerahkan amplop kecil persegi panjang coklat pada Sasya. Setelah meminta tanda terima, sang kurir berpamitan pulang. Sasya menaiki tangga menuju private room miliknya. Mata Sasya tertuju pada surat ditangan. Membaca nama pengirim yang terpampang nyata disudut amplop.

"Asiyah Keira Arsyad at Seventy Damansara Malaysia," kening Sasya berkerut mendapati nama pengirim yang mengarah pada gender perempuan. Ada rasa jangal dalam hati yang tak dapat ia pahami. Perasaan kurang suka, mungkin. Apa masih jaman kirim-kiriman surat, berasa romantis.  Sasya sirik sendiri. Merasa iri. Bahkan mulai merasa kearah .. aah sudahlah. Email, chat, massager,line, bbman kan bisa. Gumam Sasya tak henti.

Bruuk

"Aakkh hiiks .." Sasya meringis kesakitan mengelus-elus lutut kanan yang habis nabrak ujung anak tangga. Tepat saat ia ingin berdiri melanjutkan langkah kaki menaiki anak tangga, Sasya kembali kesakitan. Tanpa ia sadari pergelangan kakinya ikut keseleo.

"KE SE L ... Yah keseleo, hiks hiks." Tanpa memedulikan diri, Sasya tetap menjejaki tangga melawan kesakitan. Sasya tak ingin membuat kehobohan hanya karna kepentok plus tulang yang sedikit kegeser. Lagipula Sasya bakal rugi heboh sendiri. Mengingat kalau saat ini hanya dia dan sang kakek yang menghuni rumah. Percuma heboh kagak kedeger kakek juga. Sasya yakin semuanya akan kembali seperti semula jika sudah waktunya. Nikmati saja rasa sakitnya. Toh Sasya sudah terlatih sakit hati. Eh maksudnya SAKIT KAKI. Dia sudah terbiasa menjadi bulan-bulanan tangga karena kecerobohannya. Mereka sudah menjadi langganan. It's normal.

Jauh dari kediaman Syarif. Diruang staf Alif duduk termenung menopang dagu diatas meja kubikelnya. Menghembuskan napas panjang. Menatap dalam pada layar laptop dihadapannya. Andra menepuk pundak Alif sehingga membuatnya menoleh. "Ngopi yuk," seru Andra antusias. Melihat ekspresi tak beres dari wajah keset kusut Alif membuat Andra down seketika. "Kenapa Lif ? Badmood yah ?."

Alif menunjuk malas laptop putih miliknya. "Laptopnya mandet, semua softwarenya loading parah. Ditambah windowsnya perlu pembaharuan. Mana aku lupa lagi keywordnya. Parahkan." Alif menyentuh tengkuk frustasi kemudian kembali menghembuskan napas kesal.

"Itu mah keadaannya sudah stadium akhir Lif. Perlu diinstal tuh."

"Dimana ?."

Andra mengangkat bahu tak tahu. "Nanya kok ke perantau. Emang aku anak daerah sini."

"Aah ..Iyayah, nanti aku tanya ke Musa."

Andra sendirian ke pantry dalam misi membuat kopi. Dia tak tega mengajak Alif dengan keadaan pikiran kacau seperti itu. Tak lama ia kembali membawa dua gelas kopi. Andra meletakkan kopi didepan Alif dan satunya diletakkan diatas mejanya yang bersebelahan dengan meja Alif. Setelah mendapatkan posisi nyaman menikmati segelas kopinya, Andra berubah ekspresi menampilkan aura kecemasan yang terlihat jelas diwajahnya. Ada sesuatu yang ia pendam dan tak mampu untuk dikatakan. "Hmm.. Lif."

Tomorrow With My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang