Bab. 7

1.7K 90 1
                                    

Pak Dirga duduk di kursinya, makanan sudah terhidang tapi ketiga orang asisten rumah tangganya tidak terlihat.

"Kemana yang lainnya?" Pak Dirga bertanya pada anaknya.

"Vania sudah ajak Dad, tapi mereka ngak mau gabung." Anaknya itu menggeleng pasrah.

"Ya sudah, ayo kita makan saja." Pak Dirga menyendokkan lauk-pauk ke piringnya, begitupun dengan Vania.

Di tengah makan malam itu Pak Dirga dan Vania menyempatkan untuk bertukar kabar. Maklum saja karena Pak Dirga jarang berada di rumah.

"Daddy lihat, Vania beli banyak buku. Buku pelajaran di kampus ya?" Pak Dirga memang sempat melihat tumpukan buku di atas meja makan sebelum ke musholla rumahnya.

"Bukan Dad, Vania beli buku penuntun sholat sama Al-Quran. Vania mau belajar tentang agama lebih baik lagi. Selama ini kan Vania ngak pernah sholat." tuturnya. Vania malu jika harus jujur, bahwa dia sholat karena ingin Rama mencintainya.

Pak Dirga meletakkan sendoknya dan menatap anaknya penuh penyesalan. "Maafkan Daddy, Van. Daddy tidak bisa jadi ayah yang baik. Seharusnya Daddy mengajari Vania tentang agama semenjak kecil."

Vania kaget dengan reaksi ayahnya. Dia tidak bermaksud menyalahkan ayahnya.

"Daddy ngak salah apa-apa, kok minta maaf. Vania yang salah karena setiap ada pelajaran agama, Vania ngak pernah peduli. Jadi wajar kalau Vania ngak tahu apa-apa soal agama."

Pak Dirga tentu ambil andil dalam hal itu. Dia memang memberikan materi tapi tidak dengan mendidik akhlak anaknya secara langsung. Agama menuntun kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal inipun baru disadari olehnya. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sadar sama sekali.

"Van, Daddy punya berita penting. Ini tentang istri Daddy. Daddy dan dia memiliki seorang anak." Pak Dirga menghela nafasnya dengan berat. Bagaimana tidak berat, selama ini dia telah melakukan kesalahan yang teramat fatal, menuduh istrinya berselingkuh dan mengusirnya dari rumah dalam keadaan hamil.

Andai ia mampu mengembalikan waktu, tentu ia tidak akan sebodoh itu percaya dengan fitnah yang dituduhkan kepada istrinya. Terlebih lagi sekarang istrinya itu telah menjadi seorang PSK dan anaknya tumbuh besar di sebuah panti asuhan. Sedangkan ia selama ini hidup dengan sangat nyamannya.

Rasa bersalah itu teramat besar menggantung di hatinya hingga ia menjatuhkan airmata. Sesak sekali.

Vania bangkit dan memeluk ayahnya. "Daddy tahu berita ini dari siapa?" tanya Vania, dia hanya ingin memastikan bahwa berita itu benar-benar valid bukan kebohongan belaka ataupun kebohongan istri Daddy-nya.

"Daddy menyewa seorang detektif, dia yang melaporkan. Selama beberapa tahun ini, Daddy mencari informasi yang berkaitan dengan Airin. Dia tidak bersalah, istri Daddy tidak bersalah Van. Daddy bodoh sekali percaya perkataan mereka. Andai dulu Daddy mau mendengarkan penjelasannya, tentu dia tidak akan jadi seorang pelacur seperti sekarang." Pak Dirga memukuli kepalanya sendiri.

Nasi telah menjadi bubur tak mungkin bisa jadi nasi lagi. Penyesalan tidak akan mampu mengembalikan hal yang telah terjadi.

"Sudah Dad, jangan seperti ini." Vania berusaha menghentikan aksi Pak Dirga yang memukuli kepalanya sendiri.

"Daddy, ngak boleh seperti ini. Daddy yang Vania kenal adalah orang yang tak gampang menyerah. Jika Daddy salah, maka perbaiki kesalahan itu. Vania yakin, mereka pasti mau memaafkan Daddy." Vania berucap sungguh-sungguh.

Pak Dirga akhirnya mau menghentikan aksinya itu.

"Anak Daddy hidup di panti asuhan Van. Hidupnya susah sekali." Pak Dirga teringat dengan foto-foto yang diambil oleh detektif yang disewanya.

Setelah mengetahui bahwa ia memiliki seorang anak dari Airin, Pak Dirga memang meminta detektif itu untuk menyelidiki semua hal mengenai anaknya.

Dia juga mengirim orang untuk melindungi anaknya secara diam-diam.

"Siapa namanya, Dad?" tanya Vania dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Mentari Pagi. Panggilannya Pagi. Bagus ya namanya?" Pak Dirga membayangkan wajah anaknya itu.

"Kamu tahu, ternyata Rama mencintai Pagi dan Daddy sudah meminta Abinya Rama untuk menjodohkan mereka berdua." Pak Dirga tersenyum bahagia dengan rencana yang telah disusunnya.

Pak Dirga memang sangat menyukai Rama. Dia mengenal Rama dengan baik. Rama adalah lelaki yang pantas mendampingi anaknya. Anak sahabatnya itu sholeh dan tidak pernah melanggar aturan agama. Memang penampilannya terkesan urakan tapi dia tahu penyebab Rama seperti itu.

Sedangkan di sisi lain, Vania sangat terkejut dengan berita itu. Orang yang dicintainya akan dijodohkan dengan anak kandung Daddy-nya.

Inikah jawaban dari doanya tadi? Benarkah Rama tidak bisa berjodoh dengannya?

Vania meneteskan airmatanya tapi buru-buru dihapusnya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan ayah angkatnya itu.

Tapi bolehkah dia bertanya pada Tuhan, mengapa dari sekian banyaknya wanita di bumi ini, Mentari Pagi yang harus menjadi wanita yang dicintai Rama sekaligus menjadi anak kandung Daddy? Tidak bisakah Mentari Pagi itu hanya mendapatkan salah satunya saja?

Wanita itu membuat dia tak mempunyai pilihan apapun selain menyerah.

"Van, kamu kenapa? Tidak suka ya dengan ide Daddy menjodohkan mereka berdua?" Pak Dirga menatap Vania cemas. Dia takut telah menyakiti hati anaknya itu. Pak Dirga tahu bahwa Vania mencintai Rama, tapi dia juga tahu bahwa Rama tidak mencintai Vania.

Pak Dirga tidak ingin Vania terluka terus-menerus mengejar cinta orang yang tidak mencintainya. Vania harus dihentikan karena cintanya itu mulai beralih kepada obsesi semata.

"Vania setuju saja Dad kalau Rama dan Pagi memang setuju." Vania memaksakan senyumannya.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang