Bab. 4

1.9K 101 1
                                    

Author's PoV

Seperti biasanya, sepulang dari kampusnya Vania akan mengurusi butik. Hidupnya tidak lagi menarik, itu menurutnya karena tidak ada Rama.

Vania menyerah, tentu saja tidak. Dia hanya membiarkan Rama merasakan kehilangan dirinya. Ada kata-kata bijak yang mengatakan, sesuatu itu baru terasa berharga setelah kita kehilangannya. Vania ingin Rama menyadari pentingnya dirinya. Vania ingin terasa berharga bagi Rama. Meskipun selama ini Rama selalu menghargainya, tentu sebagai seorang teman.

Tapi sampai detik inipun, tidak ada tanda-tanda Rama kehilangan dirinya. Miris sekali nasib Vania ini. Dia punya cinta tulus, tapi tak dipedulikan. Tak jauh beda dengan Rama.

"Jo!" teriak Vania. Dia mendekati sahabat dari orang yang dicintainya itu.

"Oh hai." Sapa Jo.

"Kamu habis beli makanan?" tanya Vania melihat Jo menenteng beberapa kantong plastik dari tempat makanan yang mengandalkan makanan Italia, pizza, di sekitar sini. Butik Vania memang bersebelahan dengan tempat makanan itu.

Jo, mengangguk.

"Udah lama ya, kita tidak ketemu." ucap Vania miris. Jo mengerti, sangat mengerti bahwa gadis di hadapannya ini secara tersirat menanyakan sahabatnya.

"Aku tau Van, ini bakalan nyakitin kamu tapi kamu harus dengar perkataanku. Kodrat wanita itu dilamar, bukan melamar."

Vania melongo. Dia tidak merasa sudah melamar seorang pria. "Maksud kamu apa? Aku ngak melamar siapapun."

Jo menghela nafasnya. "Rama itu tidak akan pernah pacaran. Jika dia mencintai seorang wanita, dia akan melamar wanita itu. Hingga saat ini Rama tidak melamar kamu kan. Sementara kamu selalu mengajaknya pacaran karena itulah dia tidak pernah tertarik dengan kamu dan kamu pasti tidak akan melamarnyakan?"

Vania melongo tak percaya, tapi otak pintarnya langsung mengeluarkan jawaban.
"Kalau itu bisa bikin Rama disamping aku terus, aku akan melamar Rama."

Jo menggelengkan kepalanya.
"Dan kamu sudah tahu jawaban apa yang akan Rama berikan. Jangan memaksakan perasaan kamu, Van."

Jo benar-benar tidak berprikewanitaan. Eh!

"Emang aku salah ya, jatuh cinta sama Rama? Emang sebegitu tidak pantas ya, aku dicintai oleh Rama? Aku tahu, aku bukan cewek berhijab seperti Pagi. Tapi apa salah kalau aku memperjuangkan orang yang aku anggap layak untuk aku cintai?" Mata Vania berkaca-kaca. Dia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak jatuh.

"Maaf Van. Aku tidak bermaksud membuat kamu menangis."

Airmata Vania akhirnya jatuh juga mendengar kata penyesalan Jo, tapi wajahnya tidak terlihat menyesal sama sekali. Uh!

"Kalau kamu sebegitu cinta sama Rama, hanya ada satu cara agar Rama mencintai kamu."

"Apa?" Vania langsung menghapus airmatanya.

"Minta sama Allah Van. Hanya Dia yang bisa membolak balikkan perasaan hamba-Nya."

Jo tahu betul bahwa gadis dihadapannya ini hanya terobsesi pada sahabatnya. Dan dia bukan berlagak sok suci menyuruh Vania meminta pada Allah. Dia hanya ingin, mengingatkan gadis itu bahwa ada yang lebih berkuasa di alam semesta ini.

Vania tertegun. Benar, selama ini Vania tidak pernah berdoa pada Allah. Meskipun di ktp-nya tertulis islam tapi sholat saja dia tidak pernah, lantas bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan permintaannya.

"Ya, sudah aku pergi dulu. Kamu hati-hati kalau pulang." Setelah itu Jo pergi dengan motornya.

Apa dia harus sholat? Vania tahu bahwa Allah maha pemurah dan akan dengan mudahnya Dia mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Tapi Vania cukup rasional mana mungkin dia meminta haknya tanpa melakukan kewajibannya.

Demi Rama dia bisa melakukan apapun! Ya, dia akan sholat, tapi bagaimana caranya sholat? Ah, ada youtube dan buku. Setelah memantapkan hati, Vania pergi berburu buku agama.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang