Bab. 21

1.6K 86 1
                                    

Vania PoV

Rombongan kami pun sampai di sebuah panti asuhan. Beberapa anak menyambut kami dengan antusias yang berlebih.

Aku yang tak pernah diperlakukan seperti ini merasa seperti pulang ke rumah. Dimana ada seseorang yang menyambut kedatanganmu. Aneh memang tapi itulah yang aku rasakan saat ini.

Rama dan Jo mengomandai agar anak-anak itu ikut membantu menurunkan kotak-kotak makanan yang kami bawa. Ada banyak senyum dan tawa bahagia di raut wajah mereka. Aku terus mengamati ekspresi itu. Ah, kapan terakhir kali aku tertawa seperti mereka?

Hm aku lupa...

"Ayo Van, masuk ke dalam." Mbak Nisa menarikku untuk mengikuti langkahnya.

Seorang wanita paruh baya menyambut kami dengan senyuman hangat.

"Mari masuk nak." dia mengenggam tanganku. "Panggil saja Bunda."

"Bu-Bunda." entah mengapa aku jadi terbata. Aku tak mau menjadi gadis cengeng lagi tapi air mata itu tak mampu ku cegah.

Bunda kaget melihat reaksiku. "Apa Bunda menyakitimu, nak?"

Aku menggelengkan kepala. "Vania. Namaku Vania, Bun-da."

Bunda menghapus air mataku. "Vania, nama yang indah."

"Terimakasih. Bun-da." Bunda, aku ingin terus mengulang satu kata itu. Kata yang tak pernah aku gunakan untuk memanggil seseorang.

Aku melirik sekitar yang sudah sepi. Mbak Nisa dan yang lainnya sepertinya sudah masuk lebih dulu.

"Ayo Vania."

Bunda menarikku hingga ke sebuah ruangan. Ternyata mereka semua berkumpul disini. Ada belasan anak-anak yang duduk dengan melingkar. Jo dan Rama mengoper kotak makanan itu pada anak-anak.

"Van, duduk disini." Mbak Nisa memanggilku dan menepuk tempat kosong disebelahnya. Ruangan ini tidak memiliki meja makan beserta kursinya. Hanya ada karpet plastik yang tergelar.

Aku mengangguk kecil pada Bunda dan duduk disamping Mbak Nisa. Semua sudah mendapatkan kotak makanan. Seorang anak lelaki memimpin doa. Suasana disini berbeda jauh dengan rumahku. Banyak keceriaan dan tentunya kegaduhan.

Jo dan Rama sibuk berbisik dengan sepasang anak kecil disamping mereka sambil sesekali melirik ke arahku.

Aku menaikkan sebelah alisku pada Jo menuntut jawaban dari aksi mereka itu. Tapi dia hanya tertawa acuh. Menyebalkan!

Setelah selesai makan, kami sholah dzuhur berjemaah. Pak Rio yang menjadi imamnya.

Selesai shalat aku memanjatkan doa, meminta kebaikan di setiap detiknya. Bersyukur karena Allah tak pernah meninggalkan aku dan selalu memberikan yang terbaik untukku.

Beranjak sore kami berpamitan pulang. Aku memutuskan untuk mengantarkan keluarga Jo pulang, kali ini aku yang mengemudi. Sepanjang perjalanan Mbak Ayu dan Mbak Nisa menanyakan hubungan aku dan Jo.

"Kamu beneran nolak lamaran adik Mbak?" tanya Mbak Ayu penasaran.

Aku meringis dan hanya bisa menganggukkan kepala.

"Kenapa? Apa kekurangan Jo sehingga kamu menolaknya?" giliran Mbak Nisa yang bertanya.

"Hm. Tidak ada Mbak." Aku serius, Jo tidak memiliki kekurangan. "Cuma aku kaget saja ada yang tiba-tiba melamar."

Mereka berdua menganggukkan kepalanya. "Kalau Mbak jadi kamu pasti Mbak tolak juga." ujar Mbak Nisa.

"Tapi dari cara Jo memperkenalkan kamu tadi, sepertinya dia tidak menyerahkan Van?" Mbak Ayu mengetukkan jarinya di dagu.

Aku hanya tersenyum.

"Jo itu tidak pernah sekalipun memperkenalkan seorang gadispun pada kami. Selama ini dia terlalu sibuk dengan kerjaannya. Teman yang dia punyapun hanya lelaki saja. Jadi saat tadi dia memperkenalkan kamu kepada kami, itu berarti Jo benar-benar serius dengan kamu. Mbak harap kamu mau mempertimbangkan kembali."

Aku hanya mengangguk kaku mendengarkan pernyataan Mbak Ayu tadi. Haruskah aku mempertimbangkan kembali?

Aku tidak yakin, tapi tak ada salahnya menjalani waktu sebulan kedepan bersama Jo. Dia berbeda, sangat berbeda. Jika lelaki lain yang menjalani pendekatan pastilah memberikan perhatian lebih. Sedangkan dia? Menertawakanku bersama bocah. Sudah segitu saja, bahkan ucapan terima kasih telah ikut membantu pun tidak ada.

Aku bukannya gila sanjungan tapi setidaknya untuk berbasa-basi saja setelah mengajakku ke panti asuhan tanpa pemberitahuan terlebih dulu, masa dia tidak bisa. Ini hari liburku, seharusnya aku bisa bermalas-malasan di rumah.

Ah, sudahlah! Tak ada gunanya aku mengeluh. Lagipula aku juga bahagia bisa bertemu Bunda dan anak-anak itu.

"Masuk dulu Van." Mbak Nisa mengajakku untuk bertamu ke rumahnya setrlah aku menepikan mobilku di sebuah rumah berukuran sedang. Disampingnya ada sebuah bengkel yang cukup luas.

"Maaf Mbak, lain kali ya. Sebentar lagi maghrib. Jo ngak suka aku pulang malam."

Aduh! Ini mulut kenapa asal ngomong sih. Tak apalah, setidaknya aku tak harus terjebak dengan suasana canggung di dalam sana. Aku kan belum menjadi calon istrinya Jo.

"Ya sudah lain kali beneran mampir loh." Mbak Nisa tak lagi memaksa. "Kamu hati-hati di jalan ya." lanjutnya. Aku hanya mengangguk.

"Terima kasih Van sudah mengantarkan kami." Pak Rio akhirnya buka suara, setelah diam selama di perjalanan.

"Sama-sama Pak." Aku tersenyum segan. Ah, aku bahkan melupakan kehadiran Pak Rio di dalam mobil. Semoga Pak Rio tidak berpikiran buruk tentangku.

"Hati-hati Van." Mbak Ayu melambaikan tangannya.

"Iya Mbak, Assalammualaikum." Aku membunyikan klakson dan melajukan mobilku perlahan.

"Waalaikumsalam." jawab mereka bersamaan.



SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang