Setelah sholat dzuhur Vania memutuskan makan siang di kantin. Dia tidak pulang karena masih memiliki satu mata kuliah. Kantin jurusannya ini sangat luas. Kantin itu terbuka, tidak berada di ruang tertutup. Ditengah-tengahnya ada bunga kembang sepatu yang besar. Tanaman itu tengah berbunga, warnanya merah menyala. Sangat indah. Di pinggiran kantin ada pohon palem yang berjajar. Siang itu angin bertiup sepoi-sepoi.
Vania duduk sendirian. Dia baru memakan makanannya dua suap ketika ponselnya bergetar, ada sebuah pesan masuk.
Jo:
Pulang kuliah tolong mampir ke kafenya Rama. Ada yang ingin aku bicarakan.Vania:
Oke.Tidak ada euforia berlebih hanya jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasa. Jo mungkin akan meminta jawaban dari lamarannya. Hingga detik ini, jujur saja Vania belum memiliki jawaban apapun. Dia takut untuk menolak dan terlalu ragu untuk menerima.
Sebenarnya Jo bukanlah lelaki yang buruk. Wajahnya tampan tapi tidak setampan Rama. Lelaki itu memiliki potongan rambut yang rapi, tubuhnya tinggi tegap dengan kulit berwarna kecokelatan, khas orang Indonesia.
Denis dan kawan-kawannya menghampiri Vania yang sedang termenung.
"Kami gabung ya Van." Lelaki itu tersenyum menatap Vania dan sengaja duduk di samping gadis itu. Vania langsung tersadar melihat ada empat orang yang tiba-tiba duduk bersamanya.
"Iya." jawabnya singkat. Sebenarnya Vania sangat ingin menolak, dia butuh ketenangan tapi kantin ini bukan miliknya. Jadi siapapun bebas duduk dimana saja.
"Pulang kuliah kita jalan yuk, Van?" tanya Denis antusias.
"Eh sorry Den, gue udah ada janji. Next time gimana?"
Kekecewaan terlihat jelas dimata Denis tapi kepalanya tetap mengangguk.
'Tak masalah, masih ada hari esok, Den' batin Denis.
Vania kembali sibuk dengan makanannya. Sesekali dia juga ikut menanggapi obrolan ngalor ngidul diantara teman-temannya Denis. Sebenarnya Denis, Keanu, Rara dan Ajeng adalah teman yang asik. Tapi teman yang asik belum tentu juga baik. Jadi Vania tak ingin terlalu dekat dengan mereka.
Selesai makan siang mereka semua langsung ke kelas. Ngak enaknya jadi mahasiswa itu, mahasiswa yang ngejar dosen. Kerasa sekali mahasiswa yang butuh ilmu kalau mau nilai bagus yah harus usaha sendiri. Semua serba mandiri.
Tapi kalau jadi siswa, guru masih mau mendongkrak nilai siswanya yang jelek. Alasannya kasihan kalau tinggal kelas. Vania jadi rindu menjadi seorang murid berseragam. Masa sekolah memang masa paling indah, ya indah karena ada Rama di masa SMA-nya dulu.
Dua jam berkutat dengan ilmu ekonomi, cukup membuat otak Vania berasap. Setelah dosennya keluar Vania langsung ke parkiran. Dia punya janji dengan Jo. Mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata. Limabelas menit berkendara gadis itu sudah sampai di kafenya Rama.
Vania merapikan hijabnya dan menepuk-nepuk pipinya, menghilangkan perasaan gugup yang tiba-tiba saja menyerangnya. Setelah menghela nafas cukup panjang, Vania akhirnya turun dan memasuki kafe.
Kafe ini masih sama seperti biasanya, nuansa alamnya begitu terasa. Vania tahu Rama tidak bisa lepas dari hobi berpetualangnya, entah itu di darat maupun di laut. Lelaki itu mencintai alam. Vania mengedarkan pandangannya, mencari tempat yang tepat.
Rama yang memang menunggu Vania sedaritadi, langsung turun dari lantai dua. Hari ini Rama tidak ingin berkeliaran diantara para pengunjung kafenya. Jadi dia hanya memantau keadaan dari lantai dua sambil menunggu kedatangan Vania.
Jo sudah meminta izin untuk meninggalkan dapur saat Vania datang. Sahabatnya itu ingin menseriusi lamarannya pada Vania. Tentunya Jo tidak ingin ditolak, oleh karena itu Jo ingin berusaha untuk menyakinkan perasaan Vania. Rama pun mengusulkan ruangan kerjanya sebagai tempat pertemuan mereka, agar lebih privasi saja.
"Eh Van! Lo naik ke lantai dua aja ya. Biar lebih nyaman ngobrolnya." ujar Rama menghalangi jalan Vania.
Vania mengerinyit bingung. "Gue ngak mau ngobrol sama lo kok." Gadis itu menghentikan langkahnya.
Rama berdecak. "Gue tahu lo mau ngobrol sama Jo kan?"
Vania terkejut tapi mengangguk sebagai jawaban.
"Ya udah ke atas, biar kalian bisa nyaman ngobrolnya. Kalau dibawahkan rame dan lagian kalau lo mau nolak dia, sahabat gue ngak akan malu. Yuk!"
"Siapa juga yang mau nolak dia?" Vania refleks menutup mulutnya. 'Kenapa keceplosan sih!'
Rama menaik turunkan alisnya. "Wah jadi lo nerima lamaran dia?!" Rama berseru kencang sehingga mengundang perhatian pelanggan kafenya.
"Ya ngak nerima juga." Vania berlari cepat ke lantai atas. Mukanya memerah, malu!
"Eh! Tungguin gue Van." Rama berlari mengikuti Vania.
Vania yang sampai lebih dulu, memandang sekitarnya. Di lantai ini hanya ada satu ruangan. Disamping ruangan itu terdapat sebuah lemari kaca yang berisi gelas dan piring antik, tersusun indah. Koleksi ibunya Rama. Kemudian ada satu sofa panjang dengan meja kaca berada di tengahnya.
Vania menghempaskan tubuhnya ke sofa itu. Ini kedua kalinya ia berada di lantai ini. Kali pertama, saat pembukaan kafe ini.
"Mau mesan apa?" Rama bertanya sambil menyugar rambutnya ke belakang. Rambut Rama tidak panjang lagi tapi juga tidak terlalu pendek juga. Mungkin karena pengaruh Pagi atau wisudanya yang sebentar lagi.
"Apa aja yang penting gratis." Vania mengedikkan bahunya.
"Oke. Gue panggil Jo dulu, lo tunggu aja disini." Rama membalikkan badannya hendak turun kembali.
"Ram, lo pernah ngak sih suka sama gue? Sedikit aja?"
Vania tahu tidak seharusnya dia bertanya tiba-tiba seperti itu, tapi hatinya hanya ingin kepastian agar tak ragu lagi untuk melupakan pria di depannya ini.
Rama membalikkan badannya kembali. Menatap Vania dengan perasaan bersalah.
"Sorry Van..."
Vania mengangkat tangannya. Cukup sudah perjuangannya selama ini. Dia tak ingin memaksa lagi. Dia yakin dengan keputusan yang diambilnya kali ini.
"Ngak perlu minta maaf karena lo ngak salah Ram. Gue yang harusnya minta maaf, selama ini gue selalu mengganggu lo dengan perasaan gue. Gue janji mulai detik ini, perasaan ini akan gue buang. Ngak akan ada Vania yang kecentilan sama lo lagi." ucapnya tanpa ragu.
Rama tersenyum menatap Vania, dia melihat keyakinan di mata gadis itu, sudah saatnya gadis itu menemukan lelaki yang tepat untuk dicintai. Andai hatinya bisa diatur pada siapa akan mencinta, tentu Rama takkan menolak gadis seperti Vania. Seperti waktu, hati juga tak bisa dikendalikan.
"Dan lo ngak perlu khawatir, gue mungkin terluka tapi gue juga pasti akan bangkit lagi. Jadi please, jangan kasihani gue lagi,Ram."
Rama mengangguk. "Gue panggil Jo dulu." Entah mengapa ada perasaan lega dihatinya. Dia tak lagi menyakiti hati gadis itu dan dia berharap Jo bisa hadir sebagai penyembuh luka yang tak sengaja ditorehkannya.
Vania meneteskan airmatanya. Dia berjanji ini adalah terakhir kalinya dia menangisi Rama. Ternyata memilih untuk mengikhlaskan itu melegakan jiwa, seakan seluruh beban berat telah diangkat dari pundaknya. Vania berdoa agar Pagi benar-benar berjodoh dengan Rama.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEARCH (COMPLETE)
Romance*PENCARIAN "Aku mengejar dia tapi aku mendapatkan kamu. Aku kehilangan dia tapi aku menemukan kamu." ~Vania~ "Tuhan punya cara unik menyatukan sepasang manusia dalam takdir. Begitupun dengan kami." ~Jo~ Cerita ini akan menceritakan tentang penca...