Bab. 20

1.7K 89 1
                                        

Author PoV

Vania yang tengah duduk santai di ruang tamu sambil membaca novel dikejutkan dengan kedatangan Jo.

"Ngapain lo?" Vania keheranan melihat Jo yang menutup kedua matanya. Dia kemudian memerhatikan pakaiannya, tidak ada yang salah. Dia memakai baju tidur yang serba panjang dan tidak tipis juga.

"Pakai hijab sana, trus ganti baju. Kita bakalan jalan keluar." jawabnya.

Vania terkekeh geli. Lelaki ini dulu menyamakannya dengan ayam, oh bukan, bahkan lebih parah dari ayam. Dia masih ingat betul semua perkataan lelaki itu. Tapi sekarang dia hanya tidak menggunakan hijab dan lelaki itu langsung menutup matanya.

"Kenapa pake nutup mata segala sih, lo? Dulu gue pakai baju pendek aja lo ngak sampai segininya deh." Vania menyuarakan keheranannya dan tidak menggubris ajakan Jo.

"Kamu sekarang berhijab. Aku cuma mau menghargai keputusanmu itu. Aku belum berhak lihat aurat kamu sampai kita sah." Jo berujar tegas.

Vania tak bisa menahan rasa harunya. Lelaki di hadapannya ini, benar-benar ajaib. Vania yakin, tidak sampai sebulan dia pasti sudah menerima lamaran Jo. Sekarang saja dia sudah klepek-klepek, untunglah Jo menutup matanya sehingga lelaki itu tidak bisa melihat semburat merah di wajah putih Vania.

"Sana ke kamar, ngak usah dandan, ganti baju aja." Jo mengibaskan tangannya, menyuruh Vania pergi.

"Emang kita mau kemana sih?" tanya Vania sambil memperhatikan wajah Jo. Lelaki ini memiliki paras yang manis, tidak berlebihan.

"Kamu ingatkan kemarin setuju memberikan waktu satu bulan untukku?"

"Iya."

Jo menggaruk tengkuknya. "Iya, ini aku lagi memanfaatkan waktu itu."

"Ini ajakan ngedate yah?" Entah mengapa Vania ingin menggoda Jo.

"Bukan. Ini bukan kencan. Kita kencannya setelah nikah, jadi kalau kamu mau kencan sama aku makanya kita nikah."

Vania berdecak. Kalau lelaki lain pasti sudah mengiyakan ajakannya. "Emang mau kemana sih? Biar aku ngak salah kostum." tanyanya lagi.

"Ke panti asuhan."

"Panti asuhan? Mau ngapain kesana?" Vania membulatkan matanya ingin tahu.

"Nanti juga tahu. Sekarang cepat ganti pakaian kamu. Aku tunggu lima belas menit." Jo kembali mengibaskan tangannya.

"Oke. Tunggu sebentar." Vania segera ke kamarnya, mengganti pakaiannya dengan celana longgar dan kemeja longgar berwarna biru langit. Kemudian memasang pashmina berwarna navy di kepalanya.

Vania mengambil tas tangannya dan memasukkan ponsel dan dompetnya. Dia berjalan ke ruang tamu tempat Jo menunggunya.

Vania berdehem.

Jo yang sibuk membaca majalah otomotif milik ayah Vania langsung menatap ke arah sumber suara.

"Sudah siap? Ayo!" Jo beranjak dari duduknya. "Jangan lupa bawa kunci mobil kamu."

Vania mengangguk saja mengikuti perintah Jo. Sesampainya di garasi, Vania mengerinyitkan keningnya melihat Jo yang duduk di atas motornya.

'Ini mau naik mobil atau motor sih?' Batinnya.

"Kita naik motor nih?" Vania berjalan menghampiri Jo.

"Aku yang naik motor. Kamu naik mobil kamu." Jawab Jo lugas. Dia sudah menghidupkan motornya. "Ikuti aku, jangan sampai ketinggalan."

"Jadi kita sendiri-sendiri nih?" tanyanya tak percaya.

"Belum muhrim."

Vania berdecak kesal. "Dasar aneh. Kemarin-kemarin nganterin gue biasa aja, sekarang bilang ngak muhrim. Gue ulek juga tuh cowok."

Vania masih mengomel dengan suara kerasnya. Dia sengaja, agar Jo bisa mendengarnya. Tapi Jo hanya tertawa geli di dalam hatinya. Biar saja Vania berpikir seperti itu asal dirinya bisa mengendalikan hasrat untuk memiliki.

Begini-begini dia lelaki normal, melihat wanita secantik Vania secara terus-menerus bisa menggoyahkan imannya. Bawaannya ingin segera dihalalkan saja. Sayang, gadis itu belum mau menerima lamarannya.

Dulu, Jo mau mengantarkan Vania karena gadis itu dalam kondisi tidak baik dan tidak melibatkan perasaan. Sekarang, dia sedang gencar menumbuhkan perasaan cinta pada gadis itu dan berduaan di dalam mobil bukan pilihan yang tepat, karena yang ketiga pastilah setan.

Jo melajukan motornya lebih cepat setelah mobil Vania melaju lebih dulu. Vania terus mengikuti motor Jo. Lelaki itu berhenti di kafe Rama dan dengan gerakan jarinya meminta Vania untuk turun. Vania keluar dari mobil dan mengikuti Jo yang memasuki kafe.

Rama menghampiri mereka berdua. "Kafenya tutup?" tanya Vania bingung karena melihat tanda 'closed' di pintu pada hari minggu yang seharusnya buka sehingga Rama mendapat keuntungan yang besar.

Rama mengangguk. "Sengaja, karena seharian ini kami semua ke panti asuhan. Oh ya Van, gue pinjam mobil lo untuk bawa semua makanan ini ya. Mobil kafe lagi masa perbaikan di bengkel Jo."

"Oh oke." Vania memberikan kunci mobilnya.

'Pantas saja banyak kotak makanan disini.' batinnya.

Vania ikut membantu memindahkan kotak makanan itu ke dalam mobilnya. Setelah semua makanan berpindah, Jo memperkenalkan gadis itu pada ayah dan kedua kakaknya.

"Kenalkan Pak, ini Vania. Gadis yang sudah Jo lamar tapi ditolak."

Vania meringis. 'Harus banget yah di omongin?'

"Dan Vania, ini bapakku, Mbak Ayu dan Mbak Nisa, saudaraku."

"Vania, Om." Vania mengulurkan tangannya untuk menjabat. Berlanjut dengan menjabat tangan Mbak Ayu dan Mbak Nisa.

Pak Rio menjabat tangan Vania dengan senyuman hangat. "Tolong jaga Jo ya, Van. Dia itu kalau sudah kerja, ngak ada istrihatnya." Pak Rio menepuk bahu Jo.

"Jangan dibebani gitu Pak. Vania kan sudah nolak Jo." Mbak ayu menyenggol lengan Pak Rio. "Ngak usah dipikirkan Van. Bapak cuma bercanda." Mbak Ayu tersenyum, tak enak hati.

Vania hanya bisa mengangguk.

"Ayo, kita ke panti asuhan. Mereka sudah nungguin." Rama bergabung setelah selesai menjawab panggilan telepon.

Mereka mengangguk. Jo dan Rama membawa motor masing-masing. Sedangkan Vania, Mbak Ayu dan Mbak Nisa bersama di mobil Vania yang dikendarai oleh Pak Rio menuju panti asuhan.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang