Bab. 28

1.8K 106 5
                                    

Sudah lima bulan berlalu sejak Vania diminta memotong wortel berkilo-kilogram oleh Bu Ratmi. Setiap hari ada saja hal baru yang harus Vania pelajari, dimulai dari membersihkan bahan makanan seperti ikan, ayam, udang, cumi-cumi, kepiting, dan sayur mayurnya. Setelah dirasa Vania paham dengan cara membersihkan semua bahan makanan itu, Ibu Ratmi mulai mengajari Vania cara mengolahnya agar bisa dimakan seperti cara menggoreng, memanggang, menumis dan merebus yang benar.

Ibu Ratmi juga membuat Vania bisa membedakan bumbu-bumbu dapur seperti lengkuas, jahe, kunyit, bawang, lada dan lainnya. Dia juga mengajarkan cara menakar garam dan gula yang tepat agar tercipta rasa gurih yang pas di lidah.

Tidak hanya urusan perut, Bu Ratmi juga mengajarkan cara mencuci dan menyetrika pakaian, mencuci piring, membersihkan rumah, mengurus penampilan suami. Semua hal sudah dia ajarkan dan Vania lulus dengan nilai cukup baik, belum memuaskan.

Begitupun hari ini, Vania masih harus ke pesantren untuk mengikuti kemauan calon mertuanya. Dia sudah sampai di dapur, tinggal beberapa langkah lagi untuk mengetuk pintu dapur ketika dia mendengar suara tangisan Diah. Vania berbelok mencari asal suara yang terdengar pilu di telinganya, bagaimanapun Diah lah yang ikut membantunya selama lima bulan ini.

Vania sontak kaget melihat Jo dan Ibu Ratmi tengah menenangkan Diah.

"Kamu coba pikirkan lagi nak, masih ada waktu sebulan untuk membatalkan pernikahan itu. Menurut Ibu, Diah lebih layak menjadi istrimu. Dia berasal dari keluarga yang sama seperti kita, dia juga lebih pandai mengurus rumah, dia juga mau menjadi ibu rumah tangga. Wajahnya juga tak kalah cantik dari Vania. Ilmu agamanya juga lebih bagus." Itu suara Ibu Ratmi yang tengah membujuk anaknya.

Vania tercekat, kakinya melangkah mundur, hatinya seketika gamang. Air matanya turun tanpa bisa dicegah. Vania tahu dirinya tidak sempurna, tapi bukankah dia mau mencoba berubah?

Vania mengigit bibirnya kuat-kuat agar ketiga orang itu tak mendengar isak pilunya. Dia berbalik arah, berlari sekuat tenaga yang tersisa agar segera mencapai mobilnya.

Vania meratap dibalik kemudi, menangis sekeras-kerasnya.

"Allah... Allah... Allah..." Vania mengadu pada Sang Pemilik takdir kehidupan.

Tak ada kata lain yang terucap, dia hanya bisa memanggil Tuhannya lagi dan lagi.

Setengah jam menangis sendirian, Vania akhirnya bisa tenang. Dia mengambil ponsel di dalam tasnya, mengirimkan keputusannya untuk Jo.

'Kita batalkan saja pernikahan ini.'

Setelahnya dia melajukan mobilnya ke rumah. Dia ingin melarikan diri dari semua masalah ini, dari Jo dan dari kota ini.

Jo yang masih berdebat dengan ibunya dikagetkan dengan pesan Vania.

"Vania membatalkan pernikahan kami." ujar Jo sambil menghembuskan nafasnya dengan berat. Mukanya memerah menahan marah. Dia menggenggam erat ponsel ditangannya.

"Dia sepertinya mendengar percakapan ini." ujarnya lagi.

Ibu Ratmi dan Diah tertohok melihat air mata yang mengalir di mata Jo.

Pria itu tak menghapusnya, dia biarkan kedua wanita di hadapannya tahu seberapa sakit hatinya saat ini.

Ibu Ratmi memeluk Jo erat sambil menangis. "Maafkan Ibu... Sungguh Ibu minta maaf nak." Hati ibu mana yang tak pilu melihat anak kesayangannya menangis.

Jo tak tahu harus berucap apa, lidahnya kelu, dia tak ingin menyalahkan ibunya. Otaknya berpikir dengan keras, bagaimana cara menyakinkan Vania. Tidak hanya Vania yang jatuh cinta, diapun juga.

"Di... Saya minta maaf tidak bisa membalas perasaanmu. Hati saya sudah memilih dia dari dulu. Saya yakin kamu bisa mendapatkan suami yang lebih layak daripada saya."

Diah menggigit bibirnya erat, agar tak menangis histeris. Dia tahu harus berhenti karena tak mungkin memaksa seorang Jo untuk membalas cintanya. Pria itu selalu memegang teguh ucapannya dari dulu.

Jo melepas pelukan Ibunya. "Maafin Jo, Ibu. Karena tak menuruti keinginan Ibu." Jo lantas meninggalkan keduanya.

Jo menghubungi Pak Dirga, memberitahukan masalah ini. "Bisakah saya menikahi Vania malam nanti Pak?" ujarnya.

Diseberang sana Pak Dirga menghela nafasnya. "Kamu yakin?"

"Saya yakin Pak. Bahkan dari lima bulan yang lalu saya sudah siap menikahi putri Bapak. Saya tidak ingin Vania melarikan diri."

"Baiklah, saya akan bantu urus urusan KUA. Kamu siapkan saja saksi dan maharnya. Acaranya setelah Isya, saya akan mencoba membujuk Vania."

"Terima kasih Pak." ujar Jo sungguh-sungguh.

"Pastikan kebahagiaan anak saya atau kamu akan berhadapan dengan saya." ancam Pak Dirga.

"Baik Pak." sahut Jo tak gentar.

Setelahnya Jo menghubungi Rama dan Mas Rahmat, meminta izin agar bahan makanan untuk siang nanti dipindahkan ke rumah Vania. Meskipun terkejut mereka turut membantu rencana Jo nanti malam. Mereka berdua bahkan bersedia menjadi saksi di akad nikahnya.

Jo kemudian menghubungi ayah dan saudaranya, untuk ibunya dia meminta bantuan ayahnya. Bagaimanapun Jo ingin pernikahannya disaksikan oleh kedua orangtuanya.

Kakaknya bersedia mengurusi makanan dan minuman untuk akad nikahnya. Sedangkan mahar dia sudah menyiapkannya sejak lama.

Satu yang tak boleh terlupakan kesediaan Vania menjadi istrinya.

Jo mengendarai motornya ke butik khusus pengantin. Dia harus menyewa jas dan kebaya muslimah untuk Vania. Meskipun ini sangat dadakan tapi dia sangat yakin Allah meridhoi jalan yang diambilnya ini.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang