Bab. 14

1.7K 96 1
                                        

Vania turun dari mobil. Sejak dia memutuskan berhijab, banyak mata yang memandang tak percaya. Maklum, Vania terkenal sangat kebarat-baratan dalam berpakaian. Tapi tidak sedikit yang memuji perubahannya itu.

Di kampus Vania tak memiliki teman akrab, dia terbiasa sendiri. Vania merasa tak ada gunanya memiliki banyak teman, toh disaat dia butuh pertolongan, tak ada yang mau menolongnya.

Vania masuk ke ruang kelas dan membuka buku catatannya. Sepuluh menit kemudian dosen memasuki kelasnya. Mahasiswi yang sibuk bergosip langsung diam tak bersuara. Mata kuliah pertama itupun dimulai. Vania memiliki jadwal yang cukup padat hari ini, ada tiga mata kuliah wajib yang harus diikutinya.

Pergantian mata kuliah pun diisi Vania dengan memeriksa laporan keuangan butiknya. Dia tak terbiasa ikut nongkrong bersama mahasiswi lainnya. Berbincang apapun yang terlintas dipikirin seperti kaumnya itu.

Vania tidak menyadari, sikap tertutupnya itu mengundang ketertarikan kaum adam. Soal paras, Vania jauh di atas rata-rata. Soal kepintaran, Vania juga jauh di atas rata-rata. Jika Vania mau, dia bisa bergonta-ganti pacar sesuka hati, tapi dia tetaplah jomblo abadi. Hatinya menyukai Rama yang tidak pernah memiliki rasa yang sama.

Tapi Vania juga luput bahwa hatinya kini telah berpindah pada seseorang yang tak pernah terpikirkan olehnya. Lelaki yang mungkin sama seperti Rama?

"Hai. Boleh duduk disini?" Sapa seorang lelaki yang tengah memegang sepiring nasi dan segelas jus.

Vania mengedarkan pandangannya, memperhatikan sekitar.

"Semua bangku penuh. Maaf kalau menganggu kamu." Lelaki itu hendak pergi.

"Silahkan duduk." cegat Vania.

"Terima kasih." Lelaki itu tersenyum, kelewat ceria dan duduk didepan Vania. Mereka hanya terpisahkan meja.

Vania kembali sibuk dengan pekerjaannya. Lelaki itu sibuk memperhatikan Vania daripada makanannya. Lama kelamaan pun Vania menjadi risih.

"Maaf, bukannya gue kepedean tapi kenapa lo malah memperhatikan gue?" ujarnya tak suka. Vania menangkap basah lelaki itu tengah menatapnya.

Lelaki itu gelagapan. "Eh anu. Ehm, lo beneran ngak kenal gue?" tanya lelaki itu.

Vania menggelengkan kepalanya.

"Gue, Denis. Teman satu SMA lo. Kita juga satu jurusan." Lelaki itu menggaruk tengkuknya grogi.

Vania mencoba mengingat-ingat, tapi tak satupun ingatan terlintas dipikirinnya. Itu karena Vania yang menutup dirinya dari dunia luar. Teman Vania hanya Rama dan Jo.

"Maaf, gue lupa." Vania nyengir. Dia sedikit keterlaluan, tidak tahu teman satu jurusannya yang sudah sekelas beberapa tahun.

"Ngak masalah, kita kan ngak pernah kenalan secara langsung. Gue Denis Kuncoro, panggil saja Denis." Denis mengulurkan tangannya.

"Vania." Gadis itu menjabat tangan Denis. "Mending lo buruan makan, kita kan ada kelas lima belas menit lagi." Vania membereskan barang-barangnya.

Denis segera menyantap makanannya.

"Gue duluan Den." Vania tersenyum dan berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Denis.

Denis menghela nafasnya panjang. Akhirnya setelah sekian lama, dia berani menyapa Vania. Di dalam rongga dadanya, organ yang bernama jantung sibuk memompa darah lebih cepat dari biasanya.

Sebenarnya tujuan Denis menghampiri Vania, hanya untuk memberikan Vania semangat. Entah Vania sadari atau tidak, penampilan barunya itu membuat dia terlihat jauh lebih cantik. Sehingga semakin banyak yang menjadi pengagum rahasianya dan itu membuat beberapa wanita menjadi iri. Bahkan mereka terang-terangan mengejek Vania.

"Paling sebulan lagi hijabnya dilepas."

"Ngak! Gue berani taruhan paling lama juga seminggu."

"Besok juga dilepas."

Begitulah segelintir cemoohan dari mereka yang iri. Denis pun merasa kasihan, padahal Vania tidak pernah mengusik orang lain. Tapi apalah daya, ucapan semangat itu hanya mampu tertahan di tenggorokan.

Vania memang dikenal suka berpakaian lebih terbuka, tapi dia selalu sopan saat ke kampus. Denis tahu Vania adalah wanita baik-baik. Gadis itu tidak pernah main ke diskotik atau tempat-tempat yang tidak pantas di datangi kecuali disana ada Rama. Ya, Denis juga tahu Vania hanya mencintai Rama dan satu kampus tahu siapa itu Rama, raja balapan, pengusaha muda, berparas tampan.

*******

Seperti biasanya sepulang kuliah, Vania sibuk mengurusi butiknya. Tidak ada badai, Rama tiba-tiba muncul di butiknya. Vania tentu sangat senang.

"Hai, Ram." sapanya riang.

Rama agak terkejut melihat penampilan baru Vania.

"Assalamualaikum, Van."

"Eh, waalaikumsalam. Tumben kamu nyariin aku? Biasanya aku mulu yang nyariin kamu. Ada apa?" tanya Vania penasaran.

"Alhamdulillah, kamu sekarang berhijab." Bukannya menjawab pertanyaan Vania, Rama malah mengomentari penampilan baru Vania.

"Kenapa? Aku ngak pantes ya?"

"Sangat pantas. Jangan dilepas lagi." Rama mengacungkan dua jempolnya.

Hati Vania berbunga-bunga, akhirnya setelah sekian lama dia mengenal Rama, baru kali ini Rama mau memujinya.

"Oh ya, calon kakak ipar kemari cuma mau mastiin kondisi adik ipar. Sorry baru sempat hari ini, kemarin keluar kota."

Vania berusaha tidak menangis. Jangan salahkan hatinya yang labil. Kita hanya butuh satu detik untuk jatuh cinta, tapi kita butuh jutaan detik bahkan lebih untuk menghapusnya.

"Yakin banget bakal dijadiin suami sama Mbak Pagi?" tanya Vania meledek.

"Yakin. Hati seorang Rama tidak semudah itu untuk berpindah." jawab Rama penuh percaya diri.

Vania menghela nafas jengah.
"Udah lihatkan kondisi gue. Alhamdulillah sehat wal afiat. Sana pulang." usirnya.

"Dulu lo ngejar-ngejar gue, sekarang lo ngusir-ngusir gue. Lo punya gebetan baru ya?" canda Rama. Entah mengapa sifat isengnya, tiba-tiba saja muncul. Meskipun dalam hati Rama bersyukur bahwa Vania tidak hancur karena lamarannya pada Pagi. Bagaimanapun Vania adalah temannya dan akan menjadi adik iparnya. Dia tidak ingin ada yang tidak bahagia.

"Tadi aku-kamu, sekarang lo-gue. Dasar ngak konsisten." elak Vania. Dia tidak ingin memperlihatkan seberapa hancur hatinya. Jangankan mencari gebetan, menata hatinya yang hancur saja masih sulit.

"Hahaha maaf adik ipar, kakak ipar kamu lupa. Ya sudah, gue pamit undur diri. Ingat, hijabnya jangan dilepas lagi." Rama memberi peringatan.

Vania hanya mengangguk. Rama pun akhirnya keluar butik dan menaiki motor kesayangannya.

"Akhirnya dia pergi." Vania menepuk-nepuk dadanya. Sesak.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang