Bab. 24

1.6K 87 1
                                    

Author Pov

Jo tersenyum membaca pesan yang dikirimkan Vania tadi malam. Hal ini merupakan langkah awal bagi mereka berdua, sepertinya buku yang diberikannya sangat tepat.

Dia menghubungi Pak Dirga, setelah selesai mempersiapkan bahan-bahan. Tak banyak yang mereka bicarakan, hanya memberitahu tempat mereka akan bertemu nanti malam.

"Ehem. Pak, Mbak, aku akan mengenalkan Vania dengan Ibu."
Jo berujar yakin.

Jika ayah adalah musuh terbesar yang harus dikalahkan oleh seorang pria untuk dapat menikahi anak gadisnya, maka ibu adalah sebaliknya. Sering kali kita temui ibu mertua yang tidak akur dengan menantu perempuannya.

"Bagus itu, biarkan Ibumu menilai calon menantu untuk anak kesayangannya ini." Ayahnya tersenyum.

"Mbak ngak bisa bayangin hal apa aja yang bakal dilakukan oleh Ibu." Mbak Ayu mengedikkan bahunya geli. "Semoga Vania bisa bertahan ya, Pak."

"Harus bisa, Bapak tahu dia bukan gadis yang mudah menyerah." Ayahnya menepuk bahu Jo, memberikan semangat.

Semua orang yang mengenalnya, tahu betul sifat ibunya yang terlalu memanjakannya.

Jo yakin Vania mampu bertahan, lihat saja seberapa lamanya dia memperjuangkan cintanya pada Rama. Tapi dia tak yakin jika Vania mau bertahan mengingat Vania tidak mencintainya.

*******

Vania memarkirkan mobilnya di garasi. Seharian ini dia sangat disibukkan dengan penghitungan stock barang. Bisnisnya kali ini lebih banyak menghasilkan keuntungan. Tak salah dia mengambil keputusan.

"Assalamualaikum." Vania memasuki rumahnya dengan perasaan lelah yang mendera. Tak ada sahutan dari dalam rumah, beberapa lampu sudah dimatikan. Wajar saja karena jam saat ini sudah menunjukkan tengah malam.

Vania membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan diri di kasur. Matanya terpejam pulas dalam hitungan detik. Dia tak sempat lagi memeriksa ponselnya.

Vania baru bangun setelah adzan subuh berkumandang, setelah sholat dia berencana tidur kembali hingga siang nanti. Tapi rencana tinggallah rencana. Pagi-pagi sekali Jo sudah bertandang ke rumahnya. Jika bukan karena Daddy yang membangunkannya pastilah dia akan melanjutkan tidurnya.

Dengan berpakaian rumah dan hijab, Vania menemui Jo yang ternyata tidak datang seorang diri. Ingin rasanya Vania melarikan diri saat itu juga.

'kenapa ngak bilang-bilang dulu sih mau bawa pasukan!' geramnya.

"Vania, sini nak. Salam dulu sama orang tua Jo." Pak Dirga melambaikan tangan menyuruh gadis itu bergegas.

Vania mau tidak mau harus menyapa calon mertuanya itu. Ada perasaan gugup yang melandanya.

Vania menyalami tangan orangtua Jo bergantian sambil memperkenalkan dirinya. Dia sudah berkenalan dengan ayahnya Jo dulu, Pak Rio, orangnya ramah dan tidak banyak bicara. Tapi berbeda sekali dengan ibunya Jo, ada rasa tak suka yang bisa dia rasakan.

"Vania Om, Tante."

"Kita sudah kenalan ya Van." Pak Rio tersenyum.

"He-he-he iya Om." Vania duduk di samping ayahnya.

Percakapan pun mengalir di antara kedua orangtua mereka. Perkenalan dua keluarga sudah terjadi, lamaran sudah diterima, tinggal menentukan kapan mereka akan menikah. Vania inginnya menikah setelah lulus kuliah, tapi kedua orangtua mereka tidak setuju, terlalu lama menurut mereka. Akhirnya diputuskan enam bulan dari sekarang. Pertemuan itu lalu dilanjutkan dengan makan siang bersama.

"kenapa ngak ngomong dulu sih kalau mau lamaran, kan gue bisa prepare, ngak pakai baju rumah begini. Malu tahu ketemu camer kayak gini. " Vania melayangkan protesnya pada Jo saat memiliki kesempatan.

"Ngak ada lo-gue lagi diantara kita. Belajar manggil aku, Mas. Lagian umur kamu itu lebih muda dari aku. Tadi malam aku udah kirim pesan, makanya dibaca."

"Mas? Geli ah manggilnya, berasa manggil tukang jualan. Ganti deh panggilannya ya. Sorry, sejak kemarin sore belum sempat buka ponsel, sibuk banget, sampai rumah aja langsung tidur."

"Kemarin pulang jam berapa?" tanyanya curiga.

"Jam duabelasan." Vania meringis.

Jo yang mendengar jawaban Vania pun berusaha sabar. Gadis seperti Vania ini susah untuk dipaksa mengikuti aturannya.

"Saat kita menikah, kamu masih ingin bekerja?" Jo tak ingin salah mengambil keputusan, jadi dia menanyakan pendapat Vania.

Vania mengangguk yakin.

"Sekalipun aku mampu mencukupi kebutuhan keluarga kita nanti?" tanyanya lagi.

"Iya, aku bekerja itu untuk mengaplikasikan ilmu yang aku dapat dari pendidikanku, selain itu aku juga memiliki karyawan yang bergantung hidup dari butikku. Jadi, aku tidak mungkin menutupnya begitu saja."

Sekali lagi Jo menghela nafasnya. Dia bukan tak suka melihat Vania bekerja, hanya saja saat gadis itu bekerja dia cenderung melupakan waktu dan keselamatannya sendiri.

"Sekarang, aku tidak bisa mengaturmu. Tapi disaat kita menikah nanti, aku ingin melihat istriku berada di rumah sebelum aku selesai bekerja? Apa kamu keberatan?"

Vania menggelengkan kepalanya. Dia pun tahu kewajiban apa saja yang harus dipenuhinya sebagai seorang istri. Dia tahu Jo tidak suka mendengar dirinya pulang larut malam, tapi keadaan saat itu memaksanya.

"Besok aku akan serahkan rincian penghasilanku perbulannya. Kamu bisa mulai belajar mengaturnya."

Mereka hanya punya waktu enam bulan untuk menyatukan visi dan misi masing-masing. Tidak ada yang harus mengalah, mereka hanya harus belajar menyesuaikan diri satu sama lain.

Kedepannya akan banyak hal yang harus mereka lalui, termasuk ibunya. Ah, Jo tidak sabar melihat apa yang akan terjadi diantara ibunya dan Vania.

******************

Maafkan aku yang baru update....  🙏🙏🙏🙏🙏🙏

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang