Bab. 10

1.7K 98 3
                                    

Vania PoV

Seminggu setelah Daddy bertemu dengan Pagi di pernikahan kakaknya Rama, beliau terlihat gelisah. Wajar karena Daddy akan berterus terang kepada Pagi, apa yang terjadi sebenarnya sehingga Pagi dibesarkan di panti asuhan. Reaksi terburuk yang terlintas dipikirin Daddy, Pagi tidak mau memaafkan kesalahannya.

Aku pun memikirkan hal terburuk itu akan terjadi. Anak mana yang tak marah jika dibuang di panti asuhan padahal memiliki kedua orangtua yang utuh.

Oh ya, hari ini keluarga besar Rama akan melamar Pagi. Daddy sebenarnya mengajak aku untuk ikut tapi wanita normal mana yang sanggup melihat orang yang sangat dicintai melamar wanita lain di depan matanya? Tak ada yang sanggup. Alhasil, aku beralasan memiliki jadwal kuliah tambahan yang tidak bisa ditinggalkan.

Meskipun rasanya sangat sakit, tetapi aku harus belajar ikhlas dan tentunya belajar melupakan Rama.

Rambut panjangku, kuikat kuncir kuda. Aku mengencangkan tali sepatu dan menyandang tas ransel.

"Daddy, Vania pamit ke kampus dulu yah." Aku mencium punggung tangan Daddy. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan nak." Daddy mengantarku hingga pintu mobil.

Aku melajukan mobil ke kafenya Rama. Bingung. Aku tidak punya tujuan selain Jo. Sahabat Rama itu pastilah sedang disibukkan dengan dapurnya. Jo itu seorang koki di kafenya Rama. Dialah yang memasak semua makanan. Terkadang juga bergantian dengan kakaknya.

Aku memarkirkan mobil di tepi jalan. Bukan malas parkir di halaman kafe, tapi karena aku belum mahir dalam memarkirkan mobil. Daripada harus mengganti kerusakan mobil lainnya, lebih baik ya di luar saja.

Aku memasuki kafe dengan langkah gontai. Pakaianku sangat sopan, kemeja berlengan panjang dan celana jeans panjang. Pakaian wajib saat ke kampus. Kalian jangan berpikir kalau mahasiswi di kampusku seperti yang di sinetron-sinetron itu. Berpakaian mini atau berambut warna-warni. Mahasiswi dikampusku sangat normal.
Malahan mahasiswi di seluruh kota ini 85% berhijab. Ya, aku termasuk yang sisanya.

Aku menatap sekeliling, mencari tempat paling nyaman untuk menyendiri hingga Jo selesai bekerja. Untunglah kafe ini memiliki banyak jendela yang sengaja dibuka agar pengunjung dapat melihat pohon-pohon cokelat. Aku pun dengan mudah memilih tempat, di pojok ruangan.

Mbak Nisa datang membawakan buku menu. Dia mengenaliku.
"Vania kan? Temannya Jo dan Mas Rama?" Dia memastikan.

Aku mengangguk. Setelah melihat beberapa menu aku mulai memesan beberapa makanan dan minuman. Mbak Nisa mencatat dan mengulangi kembali pesananku.

Aku mengangguk sekali lagi, pertanda pesananku sudah sesuai.

"Mohon ditunggu sebentar." ujarnya lagi.

Aku pun kembali mengangguk. Entah mengapa aku enggan sekali bersuara. Terlalu lelah menahan sedih.

Beberapa menit, pesananku datang. Kali ini yang mengantarkan kokinya langsung, Jo.

Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Jo melihat jam tangannya.

"Empat jam lagi aku selesai. Jadi bersabarlah." Tanpa menunggu jawaban dariku, Jo berlalu hingga menghilang dibalik pintu, mungkin itu bagian dapurnya.

Aku menatap makanan yang tadi ku pesan, memakannya dengan lahap. Jika wanita lain saat sedih akan kehilangan nafsu makannya, maka aku sebaliknya.

Beberapa pengunjung kafe ini menatap ku dengan heran. Wajar saja karena seluruh mejaku terisi makanan dan minuman.

Tak terasa waktu shalat ashar pun telah masuk. Kafe ini pun menghentikan aktivitas pemesanan. Jo, ayahnya dan kakaknya paling tua, aku lupa namanya, keluar dari ruangan dapur menuju musholla. Mbak Nisa menghampiri mejaku. Dia tidak mengikuti ketiga orang itu.

"Van, Jo menyuruh kamu untuk ikut sholat ashar berjamaah."

"Aku?" aku mengerutkan kening, bingung. Meskipun begitu aku tetap berdiri dari kursiku, mengikuti mereka bertiga. Mbak Nisa kembali ke tempatnya, kasir. Mungkin dia sedang kedatangan tamu bulanan sehingga tidak ikut sholat. Para pengunjung pun sepertinya sudah maklum dengan peraturan kafe ini. Bahkan beberapa pengunjung pun ikut sholat berjamaah.

Aku berwudhu dan memasang mukena yang disediakan kafe ini. Imam sholat ashar kali ini ayahnya Jo.

Selesai sholat, semuanya kembali lagi ke kafe. Aku kembali menunggu jam kerja Jo berakhir. Dua jam lagi. Bosan, aku pun mengeluarkan smartphone. Memainkan beberapa permainan.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah empat jam aku menunggu. Akhirnya Jo muncul di hadapanku.

"Mau nangis di sini atau di tempat lain?" Jo mengangkat sebelah alisnya mengejekku.

Aku yang sejak awal berniat menangis di pundaknya, urung mewujudkannya, dengan bersungut-sungut aku berdiri dan membayar pesananku. Kemudian keluar kafe menuju mobilku. Jo ternyata mengikuti langkahku. Dia pun ikut masuk ke dalam mobil.

"Ngapain ikut masuk?" tanyaku ketus.

"Ngapain nungguin?" tanyanya dengan senyum tertahan.

"Ngak lucu! Keluar sana." Aku melipat tangan di dada, menantangnya.

Jo mengambil sesuatu dari kantong celananya dan memakaikannya di atas kepalaku. Hijab.

"Cantik." Dia tersenyum. "Ya sudah, hati-hati di jalan. Langsung pulang, jangan keluyuran lagi." Jo keluar dari mobil dan kembali ke dalam kafe.

Aku sampai tertegun, tak percaya. Itu tadi Jo kan? Aku memegang kepalaku. Hijab ini, darimana dia dapatkan?

Tidak tahu kenapa tiba-tiba bibirku malah ikut tersenyum meskipun Jo sudah tak terlihat.

**********

Hai, assalamualaikum...
Maaf yah aku update ceritanya lama banget. Part ini adalah awal kisah Vania dan Jo. Jadi jangan lupa tungguin terus lanjutan ceritanya.

Jangan lupa vote dan comment! 
Bye...




SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang