Bab. 11

1.6K 97 1
                                        

"Assalammualaikum." aku mengucap salam setelah memarkirkan mobil.

"Waalaikumsalam." sahut sebuah suara bariton dari dalam rumah.

"Daddy?" tanyaku heran. "Acara lamarannya sudah selesai? Gimana? Lancarkan?" Kali ini aku bertanya tulus. Entah mengapa aku merasa tak memiliki beban apapun.

Daddy tersenyum, wajahnya girang sekali. "Pagi mau menerima kehadiran Daddy, Van. Tapi, lamaran Rama ditolak oleh Pagi." Ada seberkas kesedihan yang terpancar dari mata Daddy.

Entah aku harus bahagia atau ikut sedih mendengar kabar itu, akupun bingung. Tak ada riak bahagia yang berlebihan seperti biasanya. Hatiku biasa-biasa saja. Aneh.

"Alasannya apa Dad?" Ini cukup aneh, Rama secara fisik jauh diatas rata-rata. Meskipun masih kuliah dia memiliki penghasilan tetap. Agamanya pun baik. Dia pun berasal dari keluarga baik-baik. Tak ada alasan untuk menolaknya.

"Pagi baru saja mendapatkan beasiswa ke Jerman, Van. Dua tahun lamanya. Pagi tidak mau melalaikan perannya sebagai istri dengan meninggalkan suaminya setelah menikah. Jadi, dia menolaknya. Tapi Daddy sudah meminta Pagi untuk menikah dengan Rama, sekembali dari Jerman. Semoga dia mau menerima usulan Daddy itu."

"Aamiin. Semoga Pagi mau menerimanya."

Aku yakin hati Rama tidak akan berubah seberapa lamapun disuruh menanti. Sepenuhnya ruang hati itu milik Pagi. Ini hanya masalah waktu, mereka berdua akan menikah.

"Wah, Vania membeli hijab?" Daddy memegang kepalaku. "Cantik sekali. Jangan dilepas lagi ya, sudah cocok sekali." Daddy tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

Ah, aku lupa melepasnya. "Vania baru coba-coba pakai Dad. Doakan semoga hatinya dimantapkan." Aku tersenyum kikuk.

Bisakah aku yang tak pernah memakai hijab dapat menggunakannya? Apakah aku sudah layak menggunakannya sedangkan tingkahku jauh dari kata islami.

"Aamiin. Semoga Vania mantap menggunakannya. Ya sudah, Vania bersih-bersih dulu, nanti kita sholat maghrib berjamaah."

Aku mengangguk dan segera membersihkan diri. Beberapa hari ini Daddy selalu menyempatkan diri untuk sholat maghrib dan isya berjamaah. Biasanya setelah maghrib, aku belajar mengaji bersama Mbak Ijah dan Mbak Een. Setelah sholat isya, kami makan malam bersama dan Daddy kembali sibuk di ruang kerjanya.

Alhamdulillah, sekarang Daddy banyak meluangkan waktu untukku. Meskipun sering telat, sholatku tak lagi bolong-bolong. Bacaan sholat pun sudah aku hafal luar kepala.

Selesai makan malam bersama aku meminta Mbak Ijah dan Mbak Een datang ke kamarku. Aku menggunakan hijab yang diberikan Jo tadi. Hijab itu persegi panjang, hanya ku sampirkan ke pundak.

"Mbak, pakai hijab itu enak ngak sih?" tanyaku penasaran.

"Hmm enak-enak aja Non." Mbak Een menatapku heran. "Non Vania mau pakai hijab yah?" Mbak Een menatap kepalaku yang setengah tertutupi hijab.

"Eh, bukan begitu Mbak. Aku hanya penasaran bagaimana rasanya memakai hijab? Apa panas, gerah atau adem."

Aku menatap Mbak Ijah dan Mbak Een yang menggunakan hijab.

"Bagaimana ya Non, bagi yang telah terbiasa menggunakan hijab, tidak akan terasa panas. Malah cenderung adem karena kepala tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Tapi bagi yang jarang memakainya, awalnya mungkin akan merasa gerah." Mbak Ijah menjelaskan dengan tidak mengguruiku.

"Lagi pula, gerah atau ngaknya itu tergantung prasangka kita saja Non. Misalnya kalau kita sudah menyangka akan kepanasan maka tubuh kita otomatis juga terdoktrin untuk merasa panas. Kalau kita menyangka akan adem, tubuh kita akan merasa adem juga Non." Mbak Een menambahkan.

"Tapi kalau boleh jujur, Non Vania lebih cantik saat memakai hijab." Mbak Ijah mengacungkan jempolnya. Sedangkan Mbak Een mengangguk setuju.

Aku tersipu malu. "Jo yang memberikan hijab ini. Jadi aku beneran pantas pakai hijab? Bukankah seharusnya aku memperbaiki perilaku dulu baru berhijab. Ya, kalau kata orang-orang hijabin hati dulu baru luarnya."

"Pantas banget Non. Kalau menurut Mbak, gimana kalau Non hijabin kepala sekaligus hijabin hatinya. Pasti lebih baik kan?" Mbak Ijah enggan mendebat kalimat yang ngetrend itu. Dia lebih memilih untuk mengambil jalan tengah.

"Apalagi perintah berhijab datang langsung dari Allah. Masa kita hanya berhijab saat sholat saja sedangkan setelahnya kita bisa sesuka hati menampakkan aurat kita. Bukankah Allah itu Maha Melihat?" Mbak Een memberikan penjelasan lebih kuat.

Aku tertegun. Benar yang dikatakan Mbak Een. Allah itu Maha Melihat, saat bertemu Allah sang pencipta saja kita mau menutup aurat tapi dihadapan hamba-Nya yang bukan apa-apa, kita malah mengumbarnya. Itu bukan hal yang benar.

Tapi sanggupkah aku untuk menaati perintah itu?

Melihat aku yang termenung, Mbak Een buru-buru meminta maaf. "Maaf Non, saya tidak bermaksud menggurui."

"Eh, tidak apa-apa, yang Mbak Ijah dan Mbak Een katakan itu benar. Aku tadi hanya berpikir."

Aku menatap lemari bajuku. Jika aku berhijab, mau dikemanakan baju-bajuku itu?

"Mbak, kalau aku berhijab, baju-baju itu mau disumbangkan kemana ya?" Aku telah memantapkan hati untuk berubah. Meskipun sedikit demi sedikit, aku harus berubah menjadi lebih baik lagi.

"Bisa disumbangkan ke panti asuhan atau Non bisa menyimpannya saja."

"Disimpan?" tanyaku heran. Untuk apa aku menyimpan baju yang tidak aku gunakan lagi.

"Iya, Non bisa memakainya di depan suami Non, kelak."

Aku tergelak. "Suami? Jodohnya aja sudah diambil orang. Mau nikah sama siapa aku, Mbak?"

"Mas Jo." Sahut mereka berdua.

Aku tertawa lebih keras dari sebelumnya. Mereka ini aneh-aneh saja, mana mau Jo melamar aku.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang