Bab. 16

1.7K 98 1
                                    

Author PoV

"Kamu mau dilamar sekarang atau tamat kuliah?" tanya Jo.

Vania terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Kemudian dia tertawa. "Lucu. Kalau udah selesai kerja, yuk pulang." ajaknya. Vania pun berdiri.

"Kamu tahu di dalam islam ada tiga hal yang tidak boleh dijadikan bercandaan. Pertama nikah, kedua talak, ketiga rujuk." Jo masih diam di tempat duduknya. Dia serius, sangat serius.

"Jadi lo serius mau melamar gue?" Vania kembali duduk dan mencari kebohongan di mata Jo. Tapi nihil. Gadis itu menelan salivanya dengan susah payah.

"Jadi maunya kapan dilamar?" tanya Jo lagi.

"Au ah." Vania berdiri dan berlari meninggalkan kafe. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ini pertama kalinya ia dilamar. DILAMAR!

Seumur-umur dia tidak pernah menerima pernyataan cinta ataupun berpacaran dengan seseorang. Tapi hari ini dia langsung dilamar. Tentu Vania bingung harus menjawab apa.

Bukannya bingung, tapi dia yang tak berani menolak Jo. Ada secuil hatinya yang tidak rela menolak lelaki itu. Sehingga melarikan diri adalah pilihan bijak, menurutnya.

Jo tidak mengejar gadis itu. Dia tahu Vania pasti terkejut dengan lamaran mendadak darinya. Tapi dia harus memastikan sesuatu. Dia lantas menghubungi ponsel Vania.

"assalammu'alaikum." sapa Vania ketus.

"wa'alaikumsalam." jawabnya.

"mau apa?"  tanya gadis itu masih di nada ketus.

"Cuma mau mastiin kalau sampai rumah kabari aku, jangan lelaki lain."

Klik. Jo memutuskan panggilan itu sepihak.

Di seberang sana Vania mulai mengomel tidak jelas.

"Apa-apaan dia itu! Tadi melamar seenaknya, sekarang malah melarang seenaknya. Emang siapa juga yang mau ngabarin orang lain." ujarnya sewot.

Vania memanggil taksi dan sepanjang perjalanan pulang, gadis itu sibuk mengoceh sendirian. Sang supir taksi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan gadis itu.

Setelah sampai di rumah, Vania mencari ayahnya. "Mbak, Daddy ada di rumah?" tanyanya pada Mbak Ijah.

"Ada Non. Di ruang kerja." jawab Mbak Ijah. Vania langsung berlari ke ruang kerja ayahnya.

"Daddy..." rengeknya. Ayahnya yang sibuk bekerja menatap gadis itu geli, pasalnya Vania jarang bersikap manja seperti ini.

"Ada apa sayangnya Daddy? Ada yang mengganggu kamu?" tanya ayahnya sambil mengusap rambut Vania.

"Ada Dad, Jo. Masa sih dia ngelamar Vania." ujarnya sewot.

Ayahnya tertawa geli.

"Daddy kok malah ketawa sih?" Vania memajukan mulutnya lima senti, manyun. "Vania serius."

"Oke-oke. Terus Vania jawab apa?" Pak Dirga mengulum senyum.

"Ngak jawab apa-apa."

"Loh kok ngak dijawab?" tanya ayahnya penasaran.

"Ya gimana mau jawab, dia cuma bilang begini 'kamu mau dilamar sekarang atau tamat kuliah?' dimana-mana kalau melamar itu bilang 'Vania kamu mau ngak jadi istriku atau Vania, will you marry me?' Ini malah nanya kapan mau dilamar, trus dia melamar kok ngak ada romantis-romantisnya!"

Pecahlah tawa Pak Dirga. Gadis kecilnya sudah berubah menjadi gadis dewasa, yang siap menjadi istri orang.

"Daddy!" teriak Vania kesal.

"Maaf, sayang. Jadi Daddy harus bersikap bagaimana? Menolaknya?" ayahnya menatap Vania dengan wajah yang dibuat-buat serius. "Daddy bisa menghubungi dia sekarang juga, supaya dia bisa menikahi gadis lainnya?" Pak Dirga mengambil ponselnya yang berada di atas meja.

"Jangan!" teriak Vania panik.

"Kenapa jangan?" tanya ayahnya mencoba memancing pernyataan Vania. Dari awal Pak Dirga tahu bahwa Vania tidak benar-benar mencintai Rama karena itu juga dia tidak merisaukan Vania yang patah hati.

Sedangkan untuk Jo, Pak Dirga tidak tahu cara apa yang digunakan anak lelaki itu untuk mengalihkan perhatian Vania dari Rama kepada dirinya. Tapi dia pasti setuju jika lelaki itu melamar anak gadisnya. Terbukti banyak perubahan baik yang terjadi dalam hidup Vania semenjak mereka dekat.

"Ya. Kenapa ya? Pokoknya jangan ditolak dulu, Dad." Vania mengaruk kepalanya bingung. Kenapa juga dia harus keberatan ayahnya menolak lamaran Jo? Apa dia mulai menyukai lelaki itu? Tapi masa sih?

Seorang Jo yang hobi sekali menasehatinya dengan cara menohok hati itu bisa membuat dirinya jatuh cinta. Tidak. Ini tidak mungkin.

"Kalau begitu kamu menerima lamaran dia?" tanya ayahnya kelewat antusias.

"Ngak juga, Dad." Vania menggelengkan kepalanya.

"Trus mau digantung kayak jemuran?" Ayahnya mengerutkan keningnya.

"Kenapa sih dia ngak nembak aku aja. Jadi kan aku ngak perlu bingung begini." ujar Vania frustasi.

"Meninggal dong anaknya Daddy."

"Bukan ditembak pakai pistol Dad. Maksud Vania itu ngajak pacaran. Penjajakan dulu begitu, kalau ngak cocok kan bisa putus. Nah kalau nikah, masa cerai. Vania ngak mau!"

"Ya ampun. Daddy bingung sama anak sekarang, diajak pacaran mau tapi diajak nikah malah bingung. Vania dengar ya nak, pacaran itu ngak baik trus haram. Allah ngak suka hamba-Nya mendekati zina. Jadi bagus kalau Jo ngajak kamu nikah. Daddy dukung seribu persen. Itu berarti dia pria bertanggung jawab dan punya prinsip."

"Siapa juga yang mau mendekati zina Dad!"

"Sekarang Daddy tanya, orang pacaran itu ngapain aja?"

Vania diam tidak berkutik. Dia sendiri ngak tahu pasti pacaran itu bagaimana.

"Pegangan tangan, peluk-pelukan, mesra-mesraan trus paling parah sampai merusak si perempuan. Apa namanya kalau bukan zina?"

"Itu sih pacaran ngak sehat Daddy." Vania masih berkilah meskipun dia mengiyakan apa yang ayahnya katakan. Vania memang sering melihat gaya pacaran yang seperti itu.

"Sekarang Daddy tanya lagi, tujuan pacaran itu apa?"

"Ehm supaya lebih kenal satu sama lainnya, mungkin."

"trus habis kenal ngapain lagi?" tanya ayahnya lagi.

"menikah."

"Nah itu kami tahu. Vania, ngak semua pria itu mau melamar pacarnya. Mereka yang ngajak pacaran itu cuma mau main-main. Kalau serius dia akan ngajak nikah, seperti yang Jo lakukan."

Vania mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tidak bisa lagi menyahuti setiap perkataan ayahnya.

"Jadi sebaiknya kamu pikirkan baik-baik lamarannya Jo."

Vania hanya bisa mengangguk dan lantas pamit ke kamarnya. Apa iya, dia harus menerima lamaran Jo?

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang