Bab. 26

1.7K 93 1
                                    

Keesokan harinya Jo datang ke rumah Vania bersama ibunya. Semua pekerjaan sudah ia alihkan pada kakaknya. Dia pun sudah meminta izin pada Rama dan Mas Rahmat, untungnya mereka berdua memberi sedikit kelonggaran. Jo baru bisa bergantian dengan kakaknya setelah pukul lima sore. Ia pun menyanggupinya. Hal ini hanya sementara, Jo meminta waktu enam bulan untuk mengurus pernikahannya.

Setelah mengucapkan salam, pintu rumah Vania terbuka. Vania mencium punggung tangan ibu Jo dan mempersilakan mereka masuk. Vania duduk berhadapan dengan Jo dan ibunya. Mbak Ijah yang sudah diberitahu akan kedatangan tamu istimewa, langsung menyediakan air minum dan cemilan.

"Makasih Mbak."

Mbak Ijah mengangguk dan kembali ke dapur.

"Silahkan diminum Tante."

Ibu Jo mengangguk dan meminum minumannya. "Jangan panggil Tante, mulai sekarang biasakan manggil Ibu. Jo dan kakaknya juga manggil Ibu."

Vania tidak yakin bahwa Ibunya Jo bisa secepat ini menerimanya, karena saat pertemuan pertama Ibu Jo tampak tidak menyukainya.

"Baik Bu."

Jo berdehem. "Jadi kamu mau membicarakan hal penting apa?" tanyanya langsung.

Vania menghela nafasnya dalam. "Daddy kemarin cerita kalau kamu mau melanjutkan study di Jepang."

Vania menatap Jo, berharap lelaki di depannya ini mengerti maksudnya.

"Kamu keberatan?" Ibu Jo menyela.

"Saya tidak keberatan Jo melanjutkan study tapi saya tentu tidak bisa ikut karena saya juga harus menamatkan kuliah. Terlebih ada butik yang masih saya rintis."

Ibu Jo mengangguk mengerti.

"Aku bisa melanjutkan study, setelah kamu lulus. Jadi kita tidak harus berpisah."

"Tapi..."

"Kita lihat nanti, bisa saja saya menolak tawaran itu."

Vania mengangguk. Dia yang kemarin ragu dan ingin menunda pernikahan ini malah diberikan solusi yang tepat. Untunglah dia belum berbicara macam-macam.

"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

"Setelah menikah, apa bisa kita tinggal di sini?"

"Kenapa? Apa kamu tidak mampu mengurus rumah?" Lagi, Ibu Jo menyela.

"Bu-bukan. Daddy kan sendirian, nanti kalau aku pindah Daddy tambah kesepian."

Baru berpikir ibunya Jo sudah menerima dirinya, sekarang sudah disudutkan begini.

"Aku sudah menyiapkan rumah sendiri. Bukannya aku tidak mau tinggal disini ataupun di rumah orangtuaku, tapi aku ingin kita memulai semuanya berdua. Sesekali kita akan menginap disini ataupun rumah orangtuaku, agar tidak ada yang merasa kesepian. Bagaimana?"

"Baik. Aku setuju."

"Kamu kalau nikah nanti masih mau kerja atau jadi ibu rumah tangga?" tanya Ibunya Jo.

"Saya masih mau bekerja Bu. Tapi saya akan berusaha untuk tidak melalaikan kewajiban sebagai seorang istri."

"Kamu setuju Jo?" Tanya ibunya.

"Iya Bu."

"Kamu bisa memasak?" tanya Ibunya lagi.

"Cuma bisa masak mie rebus, telur ceplok, dadar, air..." Vania berpikir keras, kira-kira dia bisa memasak apalagi? Bisa gawat kalau calon mertuanya tahu dia tidak bisa memasak.

"Jo bisa ajari Vania nanti, Bu. Lagian Jo kan chef." potong Jo. Dia jadi kasihan juga dengan Vania.

"Masa kamu di kafe udah masak, di rumah masih masak juga." ketus ibunya.

"Kamu yakin mau nikah sama dia?" Sambing Ibunya lagi.

Vania hanya bisa menunduk. Selama ini tidak ada yang memaksanya untuk mampu mengurus rumah dan memasak. Dia selalu tahu jadinya saja.

Jo merasa tidak enak hati pada Vania. Gadis itu tampak murung mendengar pertanyaan ibunya.

"Yakin Bu. Vania gadis baik dan Jo yakin bisa membimbingnya nanti. Ibu tolong doakan saja." Jo menggenggam tangan Ibunya.

"Bagus kalau begitu. Vania, kamu sebelum menikah akan Ibu ajarkan semua hal tentang pernikahan. Siap, tidak?" tantang Ibunya.

"Si-siap Bu." Vania tergagap mengiyakan tantangan itu.

Sebelum kesini Jo sudah menjelaskan siapa Vania pada ibunya dan diluar dugaan ibunya sangat prihatin dengan kondisi Vania yang dibesarkan dengan pembantu saja. Jangan berprasangka buruk kalau Ibunya akan menolak Vania, malah sebaliknya. Sikap ketus Ibunya yang seperti itu pertanda sayang. Jo tahu Ibunya ingin Vania menjadi menantu yang tahan banting, tidak mudah terpengaruh dengan masalah yang akan melanda nanti. Berumahtangga tidak hanya ada kesenangan tapi juga banyak kepahitan, kesulitan, bahkan tangis yang akan keluar.

"Mulai besok kamu wajib datang ke pesantren setelah pulang kuliah. Bisa?"

"Insyaallah bisa, Bu." Vania tidak bisa membayangkan hal apa saja yang akan dilaluinya, yang jelas tidak akan mudah.

"Jo, nanti kamu berikan nomor ponsel Ibu ke Vania."

"Baik Bu."

"Ya sudah, ayo kita pamit pulang.Assalamualaikum." Ibunya berjalan duluan keluar rumah.

"Waalaikumsalam." sahut Vania.

"Ibu kamu ngak suka aku ya?" Vania meringis menatap Jo.

"Malah sebaliknya, Ibu sangat suka sama kamu."

Vania menatap Jo terkejut, tak percaya dengan perkataan lelaki yang tampak gagah dengan kemeja berwarna hitam dan celana jeans yang melekat ditubuhnya.

"Ibu nunjukin rasa sayangnya seperti itu. Kamu harap maklum ya. Mbak-Mbak aku saja diperlakukan lebih dari itu."

Vania dibuat lebih meringis.

"Masih mau jadi istri aku? Ngak nyerah aja?" Jo berkata santai tetapi jantungnya sudah berdetak tak karuan. Dia tak ingin Vania menyerah. Semenjak lamaran resmi kemarin Jo sudah yakin untuk memperistri gadis cantik di hadapannya ini.

"Jangan meremehkan aku ya! Aku ini anak Daddy, patang menyerah sebelum berjuang. Udah, kamu lihat aja kali ini aku pasti menang."

Jo terkekeh senang melihat Vania yang menggebu-gebu untuk menaklukkan Ibunya. Itu tandanya dia tidak akan kehilangan gadis ini. Jo tidak tahu kapan hatinya mulai tertarik dengan Vania, tapi jelas dia sudah terjerat pesona gadis itu. Dia bahkan sangat ngotot meyakinkan Ibunya agar menerima Vania.

"Ya sudah, aku pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Selepasa kepergian Jo dan Ibunya, Vania berlari ke dapur mencari Mbak Ijah dan Mbak Een.

"Mbak, tolong ajari aku masak sama bersih-bersih rumah dong." Vania memasang tampang memelas.

"Baik Non." jawab mereka serempak.

"Harus sampai bisa ya." ujar Vania semangat.

Mbak Ijah dan Mbak Een pun tak kalah semangatnya. Mereka tak sengaja mendengar percakapan antara Vania dan Jo tadi saat menyiapkan makan malam.

"Nanti ajari Vania caranya mencuci piring ya Mbak." Vania sudah mulai membuat list apa saja tugas rumah tangga yang harus diselesaikannya, seperti Jo yang sudah menaruh hatinya pada Vania, gadis itu pun juga begitu. Kali ini dia tidak akan menyerah begitu saja. Ada keyakinan bahwa Jo adalah jodoh sesungguhnya.

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang