Bab. 8

1.7K 93 1
                                    

Vania PoV

Aku menatap nanar buku-buku baru yang tertumpuk di meja rias yang ada di kamarku. Ada rasa enggan untuk melanjutkan langkah mendekat pada Allah. Untuk apalagi aku sholat jika Rama sudah dijodohkan dengan wanita yang paling dicintainya?

Bukankah sudah jelas kalau kesempatan itu nol besar. Tapi ada rasa tak nyaman pula yang kurasakan. Semacam pergolakan batin. Harus aku akui bahwa sholat yang baru kukerjakan satu kali membuat hatiku sedikit lebih tenang.

Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur dan mendial nomor Jo. Satu kali, tak diangkat. Dua kali lagi masih tak juga diangkat. Kesal. Ponsel itu kuhempaskan ke atas kasur. Selama ini, Jo adalah teman yang baik. Dialah yang selalu mendengar curhatku mengenai Rama, sahabatnya.

Tangis yang sedari tadi kutahan tak lagi terbendung. Kubiarkan tubuhku terduduk di lantai dan menangis sekeras yang ku bisa. Daddy takkan mendengar karena setelah makan malam tadi, beliau kembali pergi mengurusi pekerjaan.

Barang-barang yang berada disekitar kulemparkan ke lantai. Kedua asisten rumah tangga pun sibuk menggedor-gedor pintu kamar.

"Non Vania! Non Vania! Tolong buka pintunya." teriak Mbak Ijah dan Mbak Een panik.

Tak kupedulikan teriakan kekhawatiran mereka. Aku hanya ingin melepaskan perasaan sakit hati ini. Kalian yang pernah patah hati pasti mengerti dengan yang kurasakan saat ini.

Bertahun-tahun aku mencintai Rama tapi dengan seenaknya perempuan bernama Pagi itu merebutnya. Bertahun-tahun aku menjadi anak Daddy, sekarang perempuan itu juga ingin merebutnya!

Apa salahku Tuhan? Kenapa harus perempuan itu yang merebut semua hal berharga yang aku punya?

"Hubungi Den Rama, Jah!" terdengar suara panik Mbak Een menyuruh Mbak Ijah menghubungi Rama.

Tidak. Tidak. Bukan ini yang aku inginkan. Rama tak boleh melihatku terpuruk hingga seperti ini.

Aku segera berlari menuju pintu. "Jangan ada yang menghubungi Rama ataupun Daddy!" ancamku. Pintu yang tadi kubuka secepat kilat, secepat itu pula kututup kembali.

Tak ada lagi suara teriakan panik dari mereka, tapi aku terus menangis tanpa henti dibalik selimut hingga tak kusadari telah terlelap hingga pagi hari.

Aku terbangun dengan kedua mata yang bengkak. Adzan subuh sudah tak terdengar, wajar saja karena jarum jam tengah menunjuk pada angka delapan.

Aku menatap pantulan wajahku dicermin. Ah, tak mungkin aku kuliah dengan kondisi seperti ini. Aku kembali berbaring di atas kasur, menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.

******

Entah pukul berapa sekarang, mungkin sudah tengah malam. Aku terbangun dan merasakan sakit kepala yang amat sakit. Dunia seakan berputar-putar. Kakiku pun tak mampu berpijak dengan benar, hingga gelap menyelimutiku kembali.

Aroma tajam nan menusuk mengusikku, mengembalikan kesadaran yang sempat hilang. Perlahan aku mampu menatap sekitar. Ini masih di kamarku.

"Alhamdulillah Non Vania sudah sadar." ujar Mbak Ijah yang memegang minyak kayu putih di tangannya.

Aku menatap bingung Mbak Ijah.

"Penyakit magh yang Non derita kembali kambuh. Dokter bilang itu karena Non tidak memakan apapun seharian ini ditambah lagi dengan beban pikiran. Sehingga penyakit itu kembali kambuh." Mbak Een menjelaskan kondisiku saat ini.

Aku mengangguk paham. Kutatap sekitar, bersih. Pastilah Mbak Een dan Mbak Ijah yang merapikan.

"Den Jo datang ke rumah, Non." ujar Mbak Ijah ragu-ragu.

Aku mengerutkan dahi.

"Kami khawatir dengan keadaan Non Vania. Karena Non tidak membolehkan kami mengabari Bapak atau Den Rama, jadinya kami menghubungi Den Jo. Mohon maaf Non." Mbak Ijah dan Mbak Een menunduk.

Aku tersenyum tipis. "Ngak apa-apa Mbak. Vania malah terima kasih sekali sudah diperhatikan. Seharusnya Vania yang minta maaf karena sudah bikin khawatir."

Mereka berdua tersenyum maklum. Mereka teramat paham sifatku yang sulit mengatur emosi.

Mbak Ijah dan Mbak Een adalah dua orang yang berjasa dalam mengurusi aku. Sejak usiaku lima tahun, merekalah yang selalu menemaniku disaat Daddy tidak ada di rumah.

"Jo masih disini, Mbak?" tanyaku. Perlahan aku mengubah posisi tidurku menjadi duduk.

"Masih ada di bawah Non. Biar Mbak panggilkan." Mbak Een pun bergegas keluar kamar.

Mbak Ijah memberikan aku beberapa butir obat dan segelas air putih. "Diminum Non. Biar lekas sembuh."

Aku mengambil obat-obat itu dan meminumnya. Tak lama Jo masuk ke kamar.

Lelaki itu menghela nafas panjang. Dia diam saja, tak bersuara. Menatapku dengan rasa iba.

Semenyedihkan itukah kondisiku saat ini?

"Mbak tolong tinggalkan kami berdua." ucapku dengan lemas pada Mbak Ijah.

"Mbak disini saja. Tidak akan ada pembicaraan rahasia di antara kami." sergah Jo menahan Mbak Ijah membalikkan badan.

Aku memberengut kesal, melihat itu. Padahal aku ingin bertanya banyak hal perihal Rama padanya.

"Kenapa jadi seperti ini? Mau nyari perhatian?" tanyanya sarkatis.

"Jangan asal bicara. Siapa yang nyari perhatian?" sahutku tak kalah sengit. Wajar saja Mbak Ijah dan Mbak Een menghubungi Jo karena hanya Rama dan Jo, teman yang dekat denganku.

"Kamulah." sahutnya kesal.

"Sudah-sudah jangan bertengkar terus Den, Non." Mbak Ijah tersenyum geli menatap kami.

"Ya sudah, ada apa lagi kali ini?" tanya Jo serius.

Aku menghela nafas setelah menceritakan semuanya. Jo menggaruk kepalanya.

"Kamu itu harusnya ngadu sama Allah, bukan sama aku. Allah-lah yang Maha Penolong hamba-Nya. Aku mana bisa bantuin kamu." ujarnya serius.

"Aku sudah meminta pertolongan sama Allah. Aku sholat tapi buktinya Allah malah menjauhkan Rama dari aku! Dan asal kamu tahu Daddy pun akan menjauh dari aku!"

"Astagfirullah. Nyebut kamu Van. Kalau ternyata dengan dijauhkannya Rama dari kamu adalah jalan terbaik untuk kamu, berarti kamu harus ikhlas. Bukan menyalahkan Allah. Allah itu Maha Adil, Maha Mengetahui segala sesuatu. Boleh jadi hal yang paling kamu tidak sukai malah itu lebih baik untukmu dan yang paling kamu sukai malah buruk untuk kamu. Pak Dirga tidak akan menjauh dari kamu, Van. Kamu itu udah diasuh selayaknya anak kandung, ngak mungkin beliau menjauhi kamu." Jo menatapku kasihan.

"Kamu itu manusia yang lupa bersyukur Van. Semua hal yang kamu miliki sekarang seharusnya menjadi hak Pagi. Hidupmu selama ini nyaman dan bahagia, sementara dia di panti asuhan. Hidup dari sumbangan donatur. Kamu masih punya Pak Dirga, sedangkan dia? Hanya ada ibu panti asuhan. Soal Rama, dari dulu Rama tidak pernah menganggap kamu lebih dari sahabat. Kamu yang tidak mau menerima kenyataan itu. Jadi tidak tepat kamu menyalahkan Pagi, apalagi Allah. Aku pamit pulang. Assalammualaikum."

Jo menutup pintu kamarku agak keras. Dia terlihat sangat marah padaku.

Aku tercenung, yang dikatakan oleh Jo benar semuanya. Akulah yang tak tahu caranya bersyukur. Allah. Allah maafkan aku..

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang