Bab. 12

1.6K 104 1
                                    

Author PoV

Malam ini hujan turun sangat deras. Udara dingin merambat melewati dinding. Pria itu masih berkutat dengan mesin motor. Wajahnya sudah banyak terkena oli.

Dia belum bisa beristirahat meski jam dinding sudah menunjuk angka duabelas malam. Masih ada satu motor lagi yang harus diperbaikinya.

"Kamu itu harus istirahat juga, nak. Siang kerja, malam juga kerja. Apa tidak lelah?" Ayahnya menaruh kopi pahit di meja, tak jauh dari tempatnya bekerja.

"InsyaAllah sebentar lagi selesai, Pak. Ngak enak aku sama big boss. Sudah terlanjur dijanjikan selesai besok."

"Ya sudah, kopinya jangan lupa diminum. Bapak masuk dulu ke dalam." Ayahnya merapatkan jaket dan masuk ke dalam rumah.

"Iya, Pak."

Dua jam kemudian, akhirnya semua pekerjaannya selesai juga. Kopi pahit yang diantarkan ayahnya tadipun sudah tinggal ampasnya saja.

Pria itu menatap tempat kerjanya. Dulu bengkel itu hanyalah sebuah bengkel kecil yang sederhana. Sekarang, bengkel itu sudah berkembang pesat berkali-kali lipat. Pagi hari hingga sore hari, bengkel akan diurusi para montirnya dan selesai isya, dialah yang mengurusi bengkel ini.

Pria itu adalah Jonathan. Jika siang, dia bekerja sebagai koki di kafenya Rama, maka malam dia bekerja sebagai montir di bengkelnya sendiri.

Dia bekerja keras, agar jika menikah kelak, dia tidak harus menyusahkan orangtuanya. Jo tidak akan muluk-muluk soal kriteria calon istrinya, yang terpenting sholehah seperti Ummi, ibunya Rama.

Dia bisa seperti sekarang ini karena Ummi. Ibunya Rama itulah yang gigih menyekolahkannya di sekolah masak profesional. Kedua orangtuanya kala itu tak sanggup membiayainya, bisa makan sehari-hari saja sudah Alhamdulillah. Tapi Ummi bersedia mewujudkan cita-citanya sebagai koki profesional.

Ummi sudah dianggap ibu kedua dalam hidupnya. Selelah apapun dia pasti mengirimkan doa untuk Ummi agar terbebas dari siksa kubur dan ditempatkan di sisi Allah yang terbaik.

Jo teringat tentang percakapannya dengan Ummi mengenai jodoh. Saat itu kondisi kesehatan Ummi tengah buruk. Hari itu, hari jumat sore, dia yang menunggui Ummi di rumah sakit. Rama tengah mencari ayahnya di pesantren, hanya ada mereka berdua.

"Ummi titip Rama sama kamu ya, Jo." Ummi memegang lengannya Jo.

"Ummi rasa, umur Ummi tidak akan lama lagi. Ummi sebenarnya kepengen lihat Rahmat dan Rama sukses dan menikah tapi hidup dan mati itu sudah ada ketetapannya. Tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan walau sedetik." Ummi menarik nafasnya dengan berat, sekujur tubuhnya benar-benar sakit.

"Nanti kalau Rama menikah, tolong kamu pastikan wanita itu wanita sholehah ya, Jo." Ummi menatap mata Jo penuh keyakinan. Jo hanya bisa menganggukkan kepala. Hatinya ikut sedih melihat kondisi Ummi.

"Lelaki hanya akan dikatakan beruntung jika dia memiliki wanita sholehah disisinya. Memang tidak ada salahnya memilih wanita yang cantik, kaya dan keturunan ningrat sekalipun, tapi sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Itu yang dikatakan baginda Rasulullah Saw. Kamu juga harus pilih wanita sholehah untuk diri kamu, Jo." Ummi tersenyum. Lagi-lagi  Jo hanya bisa menganggukkan kepalanya. Dia tak ingin bicara, sebab suaranya akan terdengar bergetar karena sedih.

Itulah pesan terakhir dari Ummi, yang akan selalu Jo ingat. Untunglah wanita yang dilamar Rama adalah wanita sholehah dan Mas Rahmat pun menikahi wanita yang sholehah juga. Sekarang, tinggal dirinya untuk mencari wanita yang sholehah.

Jo membersihkan diri dan sholat witir sebelum beranjak istirahat. Besok pagi-pagi sekali dia harus mengurusi bahan-bahan makanan di kafe.

********

Selepas sholat subuh, Jo menemani kakaknya berbelanja di pasar untuk kebutuhan kafe. Masakan laut haruslah dari bahan yang segar. Jika tidak, bisa menyebabkan alergi dan masakanpun menjadi tidak enak.

Pukul tujuh, mereka telah selesai menyiapkan bahan-bahan makanan. Kafepun telah tertata apik. Mereka siap menyambut pengunjung. Seluruh keluarga Jo, bekerja di kafe ini kecuali ibunya, yang bekerja di pesantren Abinya Rama. Disana ibunya bekerja sebagai kepala koki.

"Mas Rama ada di mushola, Jo. Mukanya suntuk banget. Coba kamu tanyain, ada masalah apa? Mana tahu kamu bisa bantu." Ujar Mbak Nisa, memberitahunya.

Jo melihat jam tangannya, masih ada waktu untuk sekedar mengobrol dengan sahabatnya itu.

"Oke Mbak."

Jo bergegas ke mushola kafe ini. Dia melihat Rama yang tengah memandangi langit-langit mushola.

"Lo kenapa? Lamarannya ditolak?" ucap Jo sembarangan. Dia duduk disamping Rama yang berbaring.

"Mungkin gue sama Pagi, emang ngak jodoh kali ya. Ngelamar aja gue ditolak. Gue emang ngak sealim Mas Rahmat sih. Jadi wajarlah dia ngak mau sama gue." Rama masih tak memalingkan pandangannya.

"Hah! Lo serius, ditolak?" Jo menatap Rama tak percaya. Rama mengangguk lemah.

"Dia ngasih tahu, alasannya nolak lo?" Jo bertanya penasaran.

"Gue langsung pergi habis dia nolak, jadi gue ngak tahu."

"Wah penyakit lemotnya kambuh! Woy man, harusnya lo tanya bukan main kabur aja. Kayak bocah sih lo. Sekarang lo temuin Mas Rahmat, tanyain lamaran lo kemarin."

"Buat apa lagi? Toh gue udah ditolak. DITOLAK."

"Gue ngak yakin Pagi bakalan nolak lu tanpa alasan. Dia pasti punya alasan yang kuat. Sana woy, usaha. Kalau Allah benaran jodohin Pagi sama orang lain, awas aja lo nangis-nangis di depan gue. Kalau lo ditolak karena kurang alim, kan lo bisa lebih tekun lagi belajar agamanya. Katanya cinta tapi usaha aja malas. Usaha man!"

Rama langsung bangkit dari posisi berbaringnya. Berlari ke luar mushola. "Doain gue, bro!" teriaknya di sela lari terbirit-birit.

Jo geleng-geleng kepala menatap kepergian sahabatnya. Rama, sahabatnya itu memang mencintai Pagi. Dia membuktikan cintanya dengan melamar wanita itu.

Sementara Jo? Entahlah. Setidaknya dia harus mencari sosok wanita sholehah itu terlebih dulu.


******

Assalammualaikum.... Jangan lupa Voment yah!

SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang