Vania PoV
Sejak perkenalanku dengan Denis, kami menjadi sedikit akrab. Ya, hanya sedikit. Aku memang tidak berniat berakrab ria dengannya. Tapi dia malah sebaliknya, sangat terang-terangan memintaku untuk menjadi temannya. Seperti sore ini, dia ingin mengajakku nongkrong di sebuah kafe bersama teman-temannya. Meski aku sudah menolak, Denis tetap kukuh. Jadilah aku mengiyakannya.
"Aku yakin kamu ngak bakalan menyesal. Kafe ini tuh asik buat nongkrong. Nah, yang paling penting makanannya itu enak." ujar Denis tetap mempromosikan kafe itu. Awas saja kalau tidak enak, aku tidak bakalan mau ngikutin dia lagi.
Ini hari minggu, semoga keputusanku untuk pergi bersama Denis dan teman-temannya tidak sia-sia. Padahal hari ini aku berencana membaca dua novel yang baru saja aku beli.
Seseorang pernah bilang bahwa buku adalah teman paling berharga, dia selalu memberikan pelajaran. Jadi selain Rama dan Jo, buku juga temanku.
Denis menepuk pundakku. "Ayo turun, kita sudah sampai." Aku melongo. Ya ampun, ternyata kafenya Rama. Saking bosannya mendengar Denis, aku melamun dan tidak memperhatikan arah jalan.
Aku mengangguk dan segera turun. Aku mengikuti Denis dan teman-temannya. Semoga Rama ataupun Jo tidak ada di kafe. Aku bisa sangat malu bertemu mereka berdua. Bukannya apa-apa, Rama itu kalau penyakit 'kepo'-nya kambuh. Duh, wartawan yang lagi buru beritapun lewat. Kalau Jo, pertemuan kami yang terakhir sungguh sangat tidak mengenakan.
Tapi sayang beribu sayang, Rama sudah menatapku dengan mata penuh selidik. Alarm tanda bahayaku berbunyi kencang. Ini bukanlah hal baik. Aku ingin melarikan diri tapi percuma.
"Selamat datang, silahkan memilih tempat." sambutnya dengan senyum ramah.
Tidak biasanya Rama mau menjadi seorang pelayan. Biasanya juga dia lebih suka memantau dari lantai dua.
Denis menatap Rama dan aku tidak mengerti dengan maksud tatapannya itu, tapi dia terlihat tidak menyukai Rama.
Akhirnya kami, maksudku Denis dan teman-temannya memilih meja di bagian pojok. Rama masih mengikuti kami.
"Hai, Van. Tumben datang bareng Denis? Kalian pacaran?" tanyanya menyelidik. Tidak ada basa-basi, membuat malu saja!
"Ngak!" teriakku. "Memangnya salah kalau teman ngumpul bareng-bareng?" tanyaku kesal. Sedangkan Denis malah tersenyum. Aneh.
"Alhamdulillah kalau begitu. Ingat, gue laporin papa mertua kalau lo benaran pacaran." ancamnya. Terus aja bikin gue malu, Ram!
"Idih! Dibilang juga ngak!" sahutku cepat. Aku jadi tak enak hati pada Denis dan kami memang sekedar teman.
Rama menarik kursi di meja sebelah dan duduk disampingku. Setelah membuat onar barulah dia memperkenalkan diri. Total aku, Rama, Denis dan teman-temannya bertujuh, empat laki-laki dan tiga perempuan.
Denis, entah mengapa sejak Rama bergabung malah jadi pendiam. Dia terlihat tidak bersemangat. Sedangkan aku merasa malu tapi juga ada rasa nyaman karena ada seseorang yang benar-benar aku kenal.
Kami memesan makanan dan Rama bertingkah seperti seorang pacar yang overprotective. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Meskipun Rama selalu menghindariku tapi saat dia melihatku bersama orang asing, maka dia menjadi seorang pelindung.
Aku tahu bahwa Rama menganggapku penting karena dia peduli padaku tapi kepeduliannya tak lebih dari sebatas sahabat, teman atau saudara. Tidak pernah lebih dari itu. Parahnya aku terjebak oleh rasa pedulinya itu.
Rama asyik bercerita dengan teman-temannya Denis. Catat! Cuma teman-temannya dan dia tidak peduli dengan ucapan Denis. Setiap kali aku mengajak Denis berbicara maka Rama akan bertanya banyak hal padaku.
Aku kasihan padanya tapi Rama seperti tak mengizinkan aku untuk lebih akrab dengannya. Apapun alasan Rama, aku yakin dia tak ingin aku celaka. Jika ada orang yang aku percaya selain Daddy, maka orangnya adalah Rama.
Aku teringat saat awal kami berkenalan.
Aku adalah murid pindahan dari Jepang. Dua tahun di negeri sakura itu tak membuatku lupa bahasa negeri ini. Pakaianku sama seperti murid kebanyakan. Tapi penampilanku saja yang terlihat kutu buku dan sangat penakut.
Aku tidak tahu mengapa, mereka yang mengaku gaul, populer dan kaya raya di sekolah ini malah suka sekali mengerjai orang-orang seperti ku. Mereka sengaja menumpahkan makanan atau minuman ke tubuhku, menyuruhku mengerjakan tugas-tugas mereka, dan melakukan apapun yang akan menindasku.
Hari-hariku tak pernah menyenangkan lagi. Tepat di hari ulang tahunku yang ke enambelas, saat jam pulang sekolah, mereka beramai-ramai melempariku dengan telur busuk, tepung, minyak, kecap, saus. Mereka yang mengaku teman tak ada yang berani menolongku, meski aku telah memohon.
Saat itulah Rama datang, dia menyampirkan jaketnya ke tubuhku dan tersenyum.
"Kamu aman." katanya.
Rama menatap mereka satu persatu dan anehnya tak ada yang berani menantangnya. Semenjak itu tak seorangpun yang menggangguku dan aku pun mulai mengekori Rama kemanapun.
"Nanti pulang sama Jo." Rama mengultimatumku.
"Kenapa harus Jo? Bukan kamu?"tanyaku kesal.
"Karena Jo yang suruh." Rama cengengesan kemudian pergi.
Aku menghela nafas pasrah.
"Kamu jadian sama Rama?" tanya Denis saat makanan yang kami pesan datang.
"Maunya sih gitu, tapi kenyataannya ngak." jawabku.
"Iya sih, siapa juga yang bakalan nolak Rama." celetuk salah satu temannya Denis, Tyas. Jelas sekali dia tertarik dengan Rama.
"Rama itu calon kakak iparku. Jadi ngak usah berharap banyak sama dia. Dia itu cinta mati sama kakakku." sahutku. Entah mengapa aku jadi tidak rela kalau Rama dengan wanita selain Pagi.
Tyas hanya mengangguk, raut wajahnya terlihat kecewa.
Mereka bercerita banyak hal, sedangkan aku hanya menanggapi sesekali saja. Ini sungguh membosankan.
Ketika mereka hendak pulang aku tetap duduk menunggu Jo selesai bekerja. Denis sebenarnya memaksaku untuk pulang bersamanya tapi karena Rama sudah mengultimatumku, aku tetap kukuh menolak. Lagipula aku sudah tidak nyaman berlama-lama dengan mereka.
"Ya sudah, nanti kalau kamu sudah sampai di rumah tolong kabari aku." ujarnya.
Aku menaikkan sebelah alisku, bertanya lewat tatapan mata 'kenapa harus begitu?'
"Maksudku, kamu kan tadi pergi bersamaku dan pulang malah di antar orang lain. Aku tidak mau dianggap tak bertanggung jawab."
"Oh, baik. Nanti aku kabari."
Denis mengangguk dan pergi mengikuti teman-temannya. Aku memainkan beberapa game di ponselku untuk mengisi waktu.
Lima menit berlalu, seseorang mengetuk meja di hadapanku. Aku mengangkat kepalaku. Jo tengah menatapku dengan serius.
"Kamu mau dilamar sekarang atau tamat kuliah?" tanyanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEARCH (COMPLETE)
Roman d'amour*PENCARIAN "Aku mengejar dia tapi aku mendapatkan kamu. Aku kehilangan dia tapi aku menemukan kamu." ~Vania~ "Tuhan punya cara unik menyatukan sepasang manusia dalam takdir. Begitupun dengan kami." ~Jo~ Cerita ini akan menceritakan tentang penca...