Bab. 22

1.7K 97 6
                                        

Vania PoV

Aku sibuk membaca buku hafalan surah-surah pendek. Mengulang berkali-kali hingga aku hafal di luar kepala, sambil sesekali mengunyah keripik singkong.

Ponselku yang berada di atas nakas bergetar, aku mengambilnya. Sebuah pesan singkat yang di kirim oleh Jo.

Jo:
Bagaimana dengan calon mertua dan saudara ipar kamu tadi? Sudah bisa mengambil hati mereka?

Aku mendelik. Apa-apaan dia ini?!

Me:
Baik. Mereka ramah. Tapi bukan berarti aku setuju dengan lamaran kamu 😤😤😡😡

Jo:
Jangan terlalu percaya diri 😜

Eh, sejak kapan dia mau menggunakan emoji?! Sok imut sekali!

Me:
Terserah! 😠

Jo:
Baik, besok kita menikah 😏

Me:
Ish! Ngak mau! 😒😒

Jo:
Ngak mau nolakkan 😉😏

Aku membelalak tak percaya. Seorang Jo yang kayak dispenser kadang dingin, kadang panas (eh hangat) bisa menggelikan seperti ini. Aku ingin berteriak TIDAK PANTAS! Belum sempat aku membalasnya, sebuah pesan datang lagi.

Jo:
Terima kasih sudah mengantar keluargaku pulang 😃

Nah, kalau sudah begini mana tega aku menjelekkannya.

Me:
Sama-sama. Terima kasih juga mengajakku ke panti asuhan.

Setelahnya tidak ada lagi balasan.

Sempat terpikir olehku, mengapa Jo ingin melamarku dan berusaha menyakinkan aku, padahal dia tahu kami tidak saling mencintai.

Jangan-jangan dia ingin mengambil keuntungan dari keluargaku?

Tidak. Tidak. Jo tidak mungkin seperti itu.

********

Aku kembali ke rutinitas sehari-hari: kuliah, butik, rumah. Ini sudah lebih dari seminggu, aku dan Jo tidak bertemu. Tidak ada pesan atau panggilan telepon darinya. Aku pun juga tak ingin menghubunginya terlebih dulu.

Bagaimanapun, seharusnya dia memanfaat waktu dengan baik untuk meyakinkan aku. Setidaknya memberikan kabar padaku. Ah, kenapa aku terkesan seperti seorang kekasih yang sedang merajuk sih?!

Jujurlah, jika ada yang tiba-tiba menawarkan sebuah komitmen pada kamu, pasti sebagian perhatianmu akan tertuju pada orang itu. Kalau kamu wanita, kamu akan setuju denganku.

Yep, wanita lebih tertarik dengan komitmen pasti daripada hubungan yang hanya berkedok ingin lebih mengenal!

Sudah, mari hentikan pembahasan ini sejenak karena laporan keuangan hari ini lebih penting daripada memikirkan keberadaan Jo.

Seseorang mengetuk pintu ruanganku. Yeni, salah satu karyawanku mengantarkan sebuah paket kiriman untukku.

"Terima kasih Yen." Aku menerima paket itu untuk melihat nama sang pengirim. Tidak ada.

"Tunggu Yen, paket ini dari siapa?" aku memanggil Yeni yang hampir menutup pintuku kembali.

"Hm kalau tidak salah dari Mas Jo, Mbak."

"Ok. Terima kasih Yen."

Yeni mengangguk dan menutup pintuku. Karyawanku yang satu itu memang pendiam. Dia hanya bersuara jika ditanya.

Aku segera membuka paket yang agak berat. Isinya ternyata sebuah buku. Judulnya 'Mahkota Pengantin' dan selain itu ada sebuah memo yang berisi satu kata 'Baca'. Ya ampun lelaki ini benar-benar ajaib. Pendekatannya tak biasa, lain dari yang lain. Jika lelaki lain akan berperilaku manis seperti menanyakan kabar, menemani makan, menonton atau hal-hal lainnya yang biasa dilakukan sepasang kekasih. Dia malah menyuruhku membaca sebuah buku.

Ups, aku lupa kami bukan sepasang kekasih.

Aku membuka buku dan membaca daftar isinya. Satu kata untuk buku ini, menarik. Pembahasannya dari masalah sederhana hingga tabu dibicarakan secara frontal. Aku lantas menutupnya dan ku masukkan ke dalam tas. Di rumah saja akan ku lanjutkan membacanya.

Aku kembali menekuri kertas-kertas di atas meja, aku berniat menaikkan keuntungan butik dengan memasok baju-baju untuk muslimah. Tahun ini trend penggunaan hijab sedang berkembang pesat di negara ini, baik dari kalangan remaja hingga dewasa. Prospeknya cukup menjanjikan bagi para pelaku usaha di bidang fashion.

Tak terasa kumandang adzan isya sudah terdengar sejam setelah adzan maghrib berkumandang. Aku menutup semua berkas-berkas. Jika dulu aku menutup butik pada jam sepuluh malam tapi seminggu ini aku mengurangi jam kerja karyawanku menjadi jam delapan malam. Aku juga menyiapkan ruangan untuk sholat. Jadi setiap waktu sholat kami semua akan sholat berjemaah dan bagi yang tidak sholat maka akan menjaga butik. Kebetulan hari ini aku mendapat jatah bulanan, jadi aku yang menjaga butik.

Semua karyawanku perempuan, totalnya ada empat orang. Yeni dan Wulan bekerja membantu pelanggan memilih pakaian, Mbak Tita ini sebagai kasir dan Mbak Tyas bertanggung jawab atas laporan keuangan serta mengawasi butik. Bisa dikatakan dia tangan kananku.

Aku duduk termenung menatap keluar jendela butik. Toko makanan cepat saji disamping butikku masih ramai pengunjung.

Mbak Tyas menepuk punggungku pelan, menyadarkanku dari lamunanku. "Eh iya, ada apa Mbak?" Aku menghadap lurus ke arah Mbak Tyas.

"Kamu masih mau di butik?" tanyanya bingung.

Aku meringis menatap mereka berempat yang bersiap untuk pulang. "Maaf yah, aku tadi melamun. Kalian boleh pulang. Terima kasih untuk hari ini."

Mereka semua pamit pulang terkecuali Mbak Tyas. "Mbak ngak ikut pulang?"

Mbak Tyas menggeleng. "Kamu ada masalah apa? Tumben banget kamu ngelamun kayak tadi."

Aku menghela nafas panjang, menimbang untuk berbagi cerita atau tidak. "Mbak, aku to do point aj ya. Aku dilamar sama Jo." Aku menatap Mbak Tyas menunggu reaksinya.

"Terus kamu terima ngak?" tanya Mbak Tyas antusias.

"Awalnya ngak tapi dia ngasih aku waktu satu bulan untuk mikir ulang. Aku bingung Mbak."

"Bingung kenapa?"

"Hmm menurutku menikah itu bukan perkara mudah Mbak. Aku ngak yakin aja. Aku masih kuliah dan masih muda juga."

Mbak Tyas tertawa geli. "Kamu tahu umur berapa Mbak menikah dengan Mas Tian?"

"30?"

"20 tahun." Mbak Tyas tersenyum bangga. "Seumuran kamu."

Aku menganga takjub. Bagaimana bisa Mbak Tyas yang sudah berumur 35 tahun masih terlihat sangat mesra dengan suaminya setelah 15 tahun menikah. Terlebih mereka menikah di usia yang masih sangat muda.

"Awal pernikahan memang sangat sulit. Banyak sekali perbedaan sifat dan jangan lupakan ego kami yang masih sangat dijunjung tinggi. Kami sama-sama tidak mudah mengalah. Tapi berkat komitmen dari Mas Tian untuk tidak pernah menceraikan Mbak apapun yang terjadi, maka disinilah kami."

Aku ingat Mbak Tyas yang sempat berhenti bekerja dengan Daddy karena ingin mengikuti program bayi tabung. Mbak Tyas dulu bekerja pada Daddy dan baru dua tahun bekerja padaku. Anaknya Bimo sekarang telah berumur lima tahun. Aku tak menyangka ternyata Mbak Tyas telah banyak melalui waktu yang tidak mudah.

"Yang terpenting kamu yakin dan menjaga komitmen pernikahan. Kalau Mbak boleh ngasih pendapat, sebaiknya kamu jangan menyiakan seseorang seperti Jo."

******

Hai, maaf aku lama banget updatenya. Terima kasih buat yang sudah membaca ceritaku. Meskipun ngak rame reader, ngak masalah. Aku akan tetap menamatkan cerita ini. Aku cuma mau berkarya dengan sebuah tulisan dan kalau bisa para pembaca cerita-ceritaku mengerti dengan pesan tersirat yang ingin aku bagikan. Salam hangat dari aku.

😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆😆


SEARCH (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang