Chapter 8

137 11 0
                                    

---


"B-Bagaimana itu bisa terjadi...?" tanyaku padanya, aku sangat penasaran dengan pernyataannya, keterangan itu membuatku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi.


Omongan dari lidah memanglah bisa menusuk seperti panah, lurus langsung ke hatiku. Bibirku kelu tak mampu berkata apa-apa, perasaanku bercampur tak karuan. Aku sangat tidak ingin kehilangan Umi... dia terlalu berharga bagiku.


"... Umi... sakit. Saat reuni, dia batuk-batuk tak mau berhenti. Mungkin yang kemarin itu adalah reuni terakhir kami," 'diriku' menjelaskan, mulai menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tak mau kudengar, ini terlalu menyakitkan.


"L-Lalu...??" aku makin penasaran, rasa penasaran ini bagai seekor laba-laba yang merayap di sekujur tubuhku. Rasanya ingin kusingkirkan, dengan jawaban itu. Aku terus memikirkan disela tangisannya. Dia sulit menjelaskan karena isak tangisnya.


----


"Saat kami... pulang... ibunya menelepon kalau Umi sedang ada di rumah sakit, itulah mengapa aku tidak menemanimu saat tidur--" perkataannya terpotong oleh nafasnya sendiri, "k-kami... kami bertujuh pun bergegas menuju rumah sakit dan mendapati Umi yang sedang dirawat,"


Mataku gatal, rasanya tangisan ini tidak akan berhenti. Mungkin tangisanku ini punya pikiran sendiri, mengendalikan diriku. Nafas hangatnya terasa, kesedihan mengalir diseluruh tubuhnya, tak salah lagi, pasti ujungnya sangat pedih.


"... saat kami sampai, kami tak diperbolehkan melihatnya. Karena dia sedang berada dalam perawatan khusus, katanya dia menderita kanker," a-apa...? T-Tidak mungkin itu... "Umi tak memberitahukannya karena tak ingin menyulitkan kami," dia menangis lagi, "d-dia bodoh...!!" jeritnya memukul meja.


Aku mengerti perasaan itu, Umi memang jarang membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi. Memang bodoh... jika dia terlihat pucat disana, aku akan--


Tunggu... b-bagaimana aku bisa pulang?


----


'Diriku' malah tertawa. Dia tak bisa membendung kesedihan selama ini. Semua emosinya sudah terkuras, air matanya bagai kucuran hujan di hari yang gelap. Kegelapan bagai pedang menusuk dalam ke hatiku. Sama-sama bersimbah darah dengan perasaan yang suram.


Hati kami tersayat pedang luka yang membara, menusuk dada tanpa halangan. Menebar rasa rindu akan kesenangan, perasaan yang tak pernah hilang dari ingatan. K-Kesedihan.


Aku pun mulai menangis, tak mampu menahan segalanya...


Beban yang berat di hatiku ini mungkin adalah yang terberat. Selain fakta kalau ternyata aku sudah tak bisa lagi bertemu dengan teman-teman. Apakah aku menghilang dari pandangan mereka? Apakah aku ada disana? Semua ini menjadi misteri yang menyebalkan.


"Honoka," 'diriku' membelai keningku, "kuatlah, jika kau bisa keluar dari sini, maka rawatlah Umi dengan baik. Jangan biarkan dia sakit, apalagi menyimpan penyakitnya untuk diri sendiri. Jangan biarkan dia egois," katanya, membuatku makin keras menangis.


Aku mencoba untuk tabah, tapi tetap saja tak bisa. Jika saja aku tak mencoba benda itu...


----


Sore menjelang, semuanya berjalan normal, namun ingatanku terhadap Umi yang dimasa ini sudah tiada tetap menghantui, tak ada perasaan dan pikiran lain selain itu. Sementara diriku yang lain sedang memasak sesuatu yang tercium lezat.


"Honoka, makanlah ini," dia menyajikan makanan berkuah yang kontras dengan cuaca. Sore itu gelap, namun lumayan panas. Dia bilang makanan hangat itu adalah cadangan energi untuk malam nanti menghadapi dingin, aku di masa depan pintar juga...


"Kita harus belajar merelakannya," ucapnya, lalu duduk disampingku, membagi hangat tubuhnya, mungkin... aku bisa merelakan Umi pergi untuk selamanya.


Kami pun makan bersama, memang hangatnya kuah mampu mencairkan jiwa yang beku ini. Apakah enaknya kuah mampu membuatku lupa pada temanku?? Ahaha... haha... sakit.


Telepon berdering, 'diriku' mengangkatnya. Dia tampak sangat kaget.


Hidungnya mulai memerah, a-apa lagi ini...?


Jangan katakan kalau--


"Honoka!!" serunya tiba-tiba.


---


Bersambung...

Kousaka Honoka: WARPEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang