Aku merasakan rasa dingin mulai menjalar dari tengkukku.
Aku menelan ludah dengan susah payah dan mendongak untuk melihat siapa yang baru saja bicara.
‘Jangan dia, jangan dia.’
“Maaf mengecewakanmu babe tapi kau benar, aku adalah dia. Dan yah, kalian seharusnya langsung meninggalkan tempat ini setelah kalian bisa bebas, tapi kalian menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Aku tidak akan melepaskannya lagi. Tidak sebelum aku mendapat apa yang kuingin.”
‘Matilah.’
Baru saja kami akan berbalik untuk kabur, aku merasakan tarikan yang sangat kuat dan tiba-tiba saja aku berada dalam dekapannya dan sebuah benda tajam nan dingin berada di leherku.
“Kalian bergerak secenti saja, dia akan mati,” ancamnya.
Tidak ada satupun yang bersuara kecuali Mark yang menggeram marah dan matanya menggelap.
“Hei kau! Berhenti menggeram! Kalian, bawa mereka dan awasi jangan sampai kabur!” perintahnya dan membawaku pergi.
Aku melihat kilatan amarah dari mata Mark ketika dia dan yang lain diikat, sementara aku dibawa pergi. Mereka tak bisa melakukan apapun karena aku sanderanya. Tak ada lagi yang bisa membantuku -setidaknya saat ini-, aku harus bisa melawannya dulu, baru aku bisa menyelamatkan yang lainnya.
Penyihir itu membawaku ke atap. Dia masih saja menempelkan ujung tajam itu di leherku. Dia mendorongku menuju ke sebuah altar.
Pencahayaan disini hanya dari obor yang ada disekeliling altar itu. Cukup menyeramkan sebenarnya, tapi aku harus berani.
Dia berhenti mendorongku beberapa meter dari altar itu.
Aku meliriknya, dia ternyata sedang mengamati bulan. Aku ikut mendongakkan kepalaku dan melihat warna bulan.
Kuning terang.
“Kau tahu kenapa Bulan menunjukkan warna kuning?” tanya penyihir itu tiba-tiba masih menatap bulan.
Jika saja situasinya tidak begini, aku pasti menyangka dia akan menggombal.
“Karena memang begitu dari sananya.”
“Oh percayalah, kau harus menikmati yang satu ini. Kau tahu kenapa..” Dia berhenti sejenak, “Karena malam ini adalah malam terakhir kau melihat bulan dari bumi, selanjutnya mungkin dari dunia lain. Hahaha.”
“Jangan tertawa. Suaramu mirip setan!”
Dia berhenti tertawa. Uh oh, seharusnya aku tidak mengatakan itu.
Dia membalik tubuhku, kini kami berhadapan.
“Kau bilang apa?” tanyanya dengan nada dingin, tajam, mengintimidasi, dan lainnya.
‘Kalau sudah begini ya sudah.. mau gimana lagi..’
“Kau tuli?”
Dia memandangku tak percaya, kilatan matanya menyiratkan kebencian yang mendalam.
Dia mendorongku dengan keras, membuatku membentur altar dan terbaring di atasnya.
Dia datang mendekat, meraih tangan kananku dan memasangkan borgol yang tersambung dengan rantai di altar. Aku memberontak, menjauhkan tangan kiriku agar tidak bernasib sama dengan yang kanan. Namun semua itu sia-sia. Penyihir itu menamparku sampai bibirku sobek dan aku merasakan rasa asin yang khas dalam mulutku.
Dia dengan kasar memasangkan borgol pada tangan kiriku.
Kakiku menendang-nendang ke segala arah sampai aku merasakan beberapa tangan memeganginya dan aku merasakan dinginnya rantai ketika mereka mengikat kakiku dengan rantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
He's Mine
Werewolf"Kau akan apa? Melindunginya? Kau tidak akan bisa melakukan itu bodoh! Untuk saat ini dia akan menjadi pionnya, setelah penyihir itu berhasil mendapatkan kekuatanmu.. Dia.. akan menjadi milikku. Dan kau.. mati!" "T-Tidak.. dia.. tidak a-akan pernah...