Bab 6

1.9K 113 0
                                    

Ruri baru saja menutup teleponnya ketika abangnya menerjang masuk ke dalam kamarnya tanpa aba-aba atau mengetuk pintu selain panggilan yang sudah Ruri kenal betul maksud dibaliknya,

"Adek ayang.."

"Hm.." sahut Ruri malas saat abangnya,Nadhir memanggilnya dengan sangat manis membuat Ruri merinding mendengarnya dan ikutan berbaring di sebelahnya.

Sebenarnya Ruri masih badmood gara-gara kejadian tadi siang belum lagi Dita malah menertawakannya tadi di telepon. Bikin emosi Ruri melonjak naik saja. Jadi dia berharap kali ini abangnya datang bukan untuk mengganggunya. Abangnya itu bisa habis ditangannya sekarang juga kalau sampai mengganggunya di saat ini. Lagian ya..sahabat macam apa Dita itu? Tertawa di atas penderitaan sahabat sendiri. Dimana katanya slogan yang selalu diagung-agungkan Dita dalam persahabatan mereka selama ini; selalu ada disaat susah dan senang? Bullshit banget deh si Dita itu!

"Ni kan malam minggu ya dek.." Nadhir memulai sambil menggoyang-goyang lengan Ruri meminta perhatiannya.

"Lah..trus yang bilang ni malam Jumat siapa bang?" Sahut Ruri sedikit jengkel. Dia masih belum bisa meredam emosinya yang menggelegak di dalam dadanya.

"Ih..dengerin dulu napa sih dek?" Nadhir cemberut karena Ruri tampaknya sedang tidak ingin mendengarkan apapun yang akan diucapkannya. Sepertinya adik kesayanganya itu dalam mood yang buruk. Ah..kalau begini,dia bakalan susah buat mengutarakan maksudnya. Karena nggak ada yang tahu apa yang akan Ruri lakukan kalau gi badmood.

"Ok..trus?"

Nadhir menarik napas lega. Adiknya masih mau mendengarnya. Baguslah!

"Gue kan nggak punya pacar buat diapelin. Lo juga nggak ada pacar yang ngapelinkan?"

"Langsung ke intinya deh bang. Nggak usah muter-muter bawa-bawa status. Nyebelin banget!"

Oups..Nadhir menahan napasnya. Ia salah taktik rupanya. Aduh..

"O..ok.." Nadhir kemudian memilih mengangkat kedua tangannya seolah tanda menyerah dan meminta Ruri untuk tenang dan kembali mendengarkannya.

"Nah..gimana kalau malam minggu ini kita 'jalan' dek. Menikmati hidup bebas tanpa pacar." Kata Nadhir akhirnya dengan membuat tanda kutip pada kata jalan dengan dua jari tangannya.

Ruri mendengus sebal. Ia sudah mengerti maksud abangnya itu sekarang dengan dua jari terangkat membentuk tanda kutip untuk menekankan kata jalan yang ia maksudkan. Ah..ngapain sih bilangin itu aja pakai acara muter-muter bawa status segala? Nyebelin banget!

"Tapi..setelah ayah dan mamak tidurkan?" Tanya Ruri ketus sekedar memastikan. Nggak mungkin kan mereka berdua pergi 'jalan' seperti yang dimaksudkan abangnya kalau kedua orangtua mereka masih terjaga. Itu sama aja nyari mati! Bunuh diri!

Nadhir hanya menyeringai dan menjawab,"you know me so well deh adek ayang."

Ruri memutar matanya mendengar gombalan receh abangnya itu. Kebiasaan abangnya kalau ada maunya baru baek-baekin dia. Ih..abang apaan tuh?

"Tapi semua resiko lo yang nanggung ya bang. Gue nggak mau ikutan kena gantung sama ayah."

Nadhir mengangguk mantap.

"Asal lo tutup mulut," Nadhir membuat tanda mulut terkunci pada adiknya yang suka seperti ember bocor,"dan nggak ngoceh kayak burung bul-bul dijamin semua aman. Ayah nggak bakalan tahu. Gimana?"

Ruri tampak diam sejenak. Ajakan abangnya ini benar-benar seperti angin surga buatnya. Terutama disaat dia gi badmood seperti ini. Dia memang butuh sesuatu buat meluapkan emosinya yang sepertinya masih menggelegak menuntut untuk disalurkan.

"Tapi ntar gue ikut turun juga ya." Pinta Ruri mencoba peruntungannya. Pasalnya abangnya yang super protektif ini tidak pernah mengizinkannya untuk ikutan turun merasakan bagaimana adrenalin yang terpacu kencang. Ia biasanya hanya sekedar menemani bukan yang mengambil kendali.

Nadhir berpikir lama.

"Kalau nggak boleh,gue nggak mau ikut ah..resikonya besar. Salah-salah ketahuan ayah,bahaya!" Lagi-lagi Ruri mengeluarkan ancamannya yang ia tahu pasti akan berhasil kali ini. Karena kalau tidak abangnya itu pasti tidak akan membutuhkan waktu lama hanya untuk menjawab permintaannya tadi. Dalam detik pertama abangnya itu pasti sudah menolak mentah-mentah permintaannya tadi itu. Jadi ini pasti 'jalan-jalan malam minggu' yang sangat penting bagi abangnya itu.

Nadhir menatap Ruri sedikit geram. Ia tahu adiknya ini sengaja mengajukan syarat seperti ini karena tahu Nadhir nggak mungkin bisa ikut turun nanti tanpa Ruri yang menemani. Padahal kali ini ia benar-benar butuh Ruri untuk menamaninya. Nggak mungkin ia bisa mencari orang yang bisa menemaninya seahli Ruri dalam waktu sesingkat ini. Ah..sial!

"Ok..tapi satu putaran aja ya..dan jangan sampai lecet atau kalah!"

Ruri langsung bersorak heboh dan mencium pipi abangnya dengan sangat ribut membuat Nadhir bergidik jijik dan segera berlari keluar dari kamar Ruri.

Tapi sebelum menutup pintu kamar Ruri dia mengingatkan Ruri untuk beristirahat sejenak karena malam ini bakalan sangat panjang untuk mereka berdua.




***



Dan sekarang disinilah mereka berdua. Di jalanan sepi yang sebenarnya tidak sepi-sepi banget karena sudah ramai oleh orang-orang yang ingin ambil bagian balapan liar atau orang-orang yang sekedar ingin menonton balapan liar saja.

"Lo taruhan apa sih bang sama Dennis sampai lo rela biarin gue ikutan turun juga ntar?" Tanya Ruri penasaran ketika mereka berdua sudah duduk dalam mobil sport kesayangan Nadhir dan Dennis yang menatap mereka mencemooh dari balik jendela mobilnya yang berada tepat disebelah mobil mereka.

Tapi Nadhir tidak menjawab pertanyaan Ruri itu,hanya tersenyum lebar sambil mengelus kepala adiknya sayang.

"Pastiin aja kita nggak bakalan kalah,ok. Karena kalau sampai kita kalah atau lo terlibat masalah,gue nggak bakalan mau bantu." Pesan Ruri sedikit kesal pada abangnya karena bermain petak-umpet dengannya dengan tidak mau mengakui jenis taruhan apa yang ia mainkan dengan Dennis yang sombong itu. Uh..

"Ok..tenang dan duduk manis saja di tempatmu itu adikku sayang. Selebihnya serahkan sama abang lo yang super kece badai ini."

Ruri mendengus sebal tapi tak urung ia memasang sabuk pengamannya,menurunkan kaca mobilnya ketika Tomi mengetuk sisi jendela mobil abangnya itu dan mendengarkan dengan seksama intrusksi yang diberikan Tomi tentang jalur mana yang harus mereka ambil dan bagaimana aturan balapan ini dijalankan.

Dan kemudian setelah dirasa semua peserta sudah mengerti dan siap di posisi masing-masing,Tomi mengangkat topi yang dipegangnya di depan garis start dan berteriak..

"Ok..ready..Go!"

Adrenalin Ruri pun seketika terpacu begitu mendengar aba-aba Tomi dan ia mulai berkonsentrasi dengan jalanan di depan mereka,mengabaikan semua hal yang bisa menggangu pikirannya. Bagaimanapun mereka harus menang. Ia paling tidak suka kalah dan jadi pecundang!




***







Gimana? Masih suka nggak sm cerita ini atau udahan aja?

Comment dong guys biar tahu gimana cerita ini menurut kalian.

Trm ksh 😍😘










Wassalam

18 Juli 2017

Akhirnya..  (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang