13 : Per(hati)an

33 4 0
                                    

Rintik hujan menyambut pagi, kepulan awan hitam berjajar menutup matahari dan sinar kehangatannya.

'Malas'. Itulah yang terbesit difikiran setiap orang yang merasakannya. Hawa dingin, rintikan hujan, jalanan yang masih basah karna hujan semalam. Benar-benar mendukung aliya untuk bermalas-malasan pagi ini.

Aisshh... dengus aliya menarik kembali selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Masih saja sama rintikan hujan tetap terlihat dijendela kamarnya. Padahal pagi ini sudah pukul enam, paham jika hujan begini bukan hanya murid saja yang akan madol sampai hujan reda tetapi guru bahkan penjual dikantinpun ikut madol hingga hujan benar-benar berhenti.

Aliya membuka kembali selimutnya menatap jendela lalu jam yang bertengger di dinding bercat kuning. Bakalan awet nih ujan... woaahh lima belas menit lagi deh. Bukannya bangun, aliya malah kembali berbaring di kasurnya malas.

Berbeda dengan aliya, setelah menunaikan salat subuh Niko sudah rapih mengenakan seragamnya. Jika sewaktu-waktu hujan sedikit agak reda ia bisa melabas pergi dengan motornya, tak heran niko tipe cowok yang tepat waktu walau terkadang tetap saja ia terlambat masuk karena suatu hal. Aliya udah berangkat belum ya. Kata itu terbesit ketika niko mengintip di selah jendela kamarnya.

Pagi tadi setelah salat subuh, niko melihat ayah aliya pergi ketokonya yang berada disekitaran pasar. Berjualan sembako plus sayuran dalam satu toko yang bisa dibilang lumayan besar karna selalu menjadi pemasok untuk beberapa warung dan pedagang-pedagang kecil, membuatnya harus lebih awal membuka toko.

Dijam segitulah ayah aliya biasa menerima pemasok sayur-sayuran segar dari berbagai pekebun yang bahkan tengah malam telah berada dipasar untuk menurunkan dagangannya. Dan semua itu tak lain untuk membiayai kehidupan putri terakhirnya itu 'aliya'.

Entah mengapa rasa ingin melindungi aliya selalu muncul dalam hati niko semenjak mengetahui ayahnya yang selalu sibuk ditoko bahkan sebelum cahaya jingga keemasan muncul dari selah selah awan.

Sementara didalam rumah yang berdominasi warna abu-abu dan putih, arga sibuk mondar mandir mencari sesuatu.
"Buu... mana ini kaos kaki arga kok cuma satu??". Teriak arga menghampiri ibunya didapur.

"Aduhh... ya mana ibu tau, kamu sih naronya sembarangan". Mengduk nasi goreng didalam wajan yang baru saja ia beri kecap. Arga mendengus kesal, ntah ia harus kesal dengan siapa. Mungkin dengan diri sendiri lebah tepat.

"Udah pake aja kaos kaki warna putih, gak bakal diperiksa guru gak". Ucap sang ayah duduk dibangku sambil mengganti cenel televisi.

Arga pergi keluar rumahnya, hujan masih terlihat turun dengan kompak membasahi bumi. Apa gua gak usah sekolah aja ya sekalian, lagian pasti banyak yang gak masuk. Seakan setan berbisik di telinga lalu masuk kedalam otak. Arga duduk di bangku depan rumahnya sambil memperhatikan ritme hujan yang turun tak stabil.

"Makan dulu gaa". Teriak fatimah dari dalam. Arga masuk kedalam, bukan untuk makan didalam tetapi membawa makanannya keluar rumah sekalian memanasi motornya.

Rumah niko dan arga tak berada jauh berhadapan denga rumah arga, hanya dipisshkan dengan jalanan beraspal didepannya.Dari rumahnya, arga bisa dengan jelas melihat niko yang telah mengenakan jaket parasut abu-abu lengkap dengan tas yang ia rangkul di bahunya. Rajin banget tuh anak. Panji menggeleng, mengakui perbedaan yang jelas terlihat antara arga dan niko. Melahap nasi goreng  yang ia letakkan dimeja dengan segelas teh hangat disebelahnya.

"Ya ampun aliya, belum bangun juga".  Haryani menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh aliya. Aliya mendengus, menarik kembali selimutnya. "Sehari aja buu...".

Aryani menarik sebelah alisnya keatas. "Enggak... enggak... kmu itu udah mau naek kelas dua belas. Gak usah males, cepet bangun!". Aryani membuka paksa selimut aliya, menarik tangan sang anak keluar kamar mengarahkannya ke kamar mandi.

INTUISI - Hati 'ku'. [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang