23 : Teman atau lawan?

37 4 0
                                    

Dalam kesunyian, Aliya kembali teringat oleh Amola dan Niko. Ia akui melupakan tak semudah yang Ia janjikan pada Panji. Hanya Ia butuh keramaian, suasana dan kesibukan yang dapat membuatnya terlupa akan segala hal yang membuat Ia terluka.

Ia raih ponsel miliknya. Tepat pada pesan terakhir yang Ia kirim pada Niko, tanpa ragu langsung Ia hapus tanpa meninggalkan jejak apapun. Segala hal tentang Niko yang sebelumnya sengaja Ia simpan agar  Ia dapat kembali melihatnya untuk sekedar melepas rindu jika tak dapat bertemu.

Namun sekarang apa yang Ia lihat,  justru membuat hatinya sangat tersiksa. Perlahan butirang bening air, menetes membasahi kedua bagian wajahnya. Ia masih tak menyangka, walau Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun Ia yakin mereka memiliki hubungan yang lebih dari seorang teman.

Jika tidak, mengapa harus dirahasiakan darinya. Ia tak mengerti, bahkan tak ingin tahu bagaimanapun ceritanya. Dengan rasa sesak, Aliya menutup matanya. Ia peluk erat guling yang kemudian ia alih fungsikan untuk menutup wajahnya dengan isak tangis yang tak dapat Ia bendung. Bukan sedih, tapi lebih tepatnya kecewa.

Ponsel Aliya berdering. Sama sekali ia  tak ingin diganggu, tak peduli siapa yang menghubunginya saat ini. Ia benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Menumpahkan segala kekesalannya dengan menangis terisak di balik guling yang masih terus Ia peluk erat.

"Aliyaaa". Panggil Aryani mengetuk pintu kamar Aliya. Buru-buru Aliya menyeka air matanya.

"Aliya!". Panggilnya lagi semakin kuat.

"iya".

"Ada temen kamu tuh".

Aliya meletakkan guling yang menutupi wajahnya. "Siapa?".

"Panji".

Aliya membuka pintu kamarnya. Kalau saja bukan Panji yang datang kerumahnya saat ini, Aliya pasti tidak akan keluar.

Jelas terlihat dari wajah Aliya jika ia habis menangis. Kantung matanya sembab, hidung merah ditambah lagi sesegukan yang masih terdengar walau pelan.

"kamu abis nangis". Aryani penasaran, karena sudah lama ia tak melihat anaknya itu menangis.

"iya". Jawab Aliya gamblang.

"kenapa?".

"nonton film". Aliya pergi meninggalkan Ibunya. Dengan tanda tanya yang masih menggebu di otak Aryani. Aneh. Batinnya dalam hati.

Panji duduk di kursi panjang ruang tamu sendirian sibuk memainkan ponselnya. Aliya langsung mengambil posisi di sebelah Panji. "kenapa?". Tanyanya dengan suara yang masih parau. Panji yang tak mengetahui kedatangan Aliya sontak langsung menoleh. 

"elu nangis?".

"nonton Drakor tadi".

"lo kira gua segoblok itu?". Panji memiringkan tubuhnya menghadap Aliya.

"elo ngapain kesini?". Alih Aliya.

"nagih janji". Kembali Aliya menoleh Panji. "janji apa?".

"janji elo buat gak nangis".

"tapi nyatanya elo nangis juga".

Aliya tertunduk. "gua abis nonton film. Beneran". Mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.  Entah mengapa wajah Panji saat ini terlihat seperti orang yang sangat emosional. Tak seperti biasanya.

"elo abis dari mana?". Aliya melirik jam dinding putih disampingnya. Sudah pukul 09:00, ia yakin Panji pergi kesuatu tempat sebelum kerumahnya.

"tempat temen".

INTUISI - Hati 'ku'. [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang