25 : Pengakuan

46 3 0
                                    

Aliya ikuti langkah Panji tepat di belakangnya. Sebenarnya Panji tahu ia sedang di ikuti, tapi ia tak peduli. Memang ia yakin nantinya kebenaran akan terbuka tanpa harus ia yang memulainya. Namun terlalu munafik jika Panji tidak merasa sakit hati atas tuduhan yang Arga lontarkan padanya.

"Panji!". Panggil Aliya dari belakang. Panji tak sedikitpun menghiraukan panggilan Aliya, entah tidak mendengar atau sengaja mau menghindar. Ia justru mempercepat langkahnya menyusuri koridor.

"WOY PANJI!". Teriak Rahayu berlari mendekati Panji dari arah yang berlawanan.

Tadinya Aliya juga ingin berlari menghampiri Panji, namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat Rahayu datang. Aliya memperhatikan percakapan antara Panji dan Rahayu, ia tak dapat mendengar jelas karena suara siswa/siswi di lapangan jauh lebih terdengar kuat. Ia hanya dapat melihat saat ini Panji mengalihkan langkahnya ke ruang Kepal Sekolah. Sedangkan Rahayu berjalan ke arah yang berbeda.

Penasaran, Aliya menyusul Panji. Benar saja, ia lihat Panji masuk ke dalam ruangan itu. Sialnya, ruangan itu pintunya ditutup. Terpaksa Aliya hanya dapat menunggu dari luar sambil bertanya-tanya dalam hati.

Cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Panji keluar dari dalam ruangan, Aliya langsung menghampiri Panji.

Panji sedikit terkejut dengan keberadaan Aliya. "Kamu ngapain di sini?". Wajah Panji linglung melihat Aliya ketika membuka pintu.

"Kenapa?". Bukannya menjawab Aliya malah balik nanya. Seolah benar benar penasaran, di tatapnya lekat wajah Panji.

"Gak papa. Gua duluan".

Aliya yakin ada hal yang sengaja ditutupi oleh Panji. Tidak mungkin Kepala Sekolah memanggil Panji keruangannya jika tidak tanpa sebab.

"Eh Rahayu!". Sapa Aliya berjalan menghampiri Rahayu yang baru saja keluar dari ruang guru. "Kenapa Al?".

"Tadi Panji di panggil Kepsek kenapa?". Mata Aliya mendelik menatap Rahayu penuh rasa penasaran. "Lah gua juga gak tau. Gua cuma di suruh manggil doang".

"Serius lo gak tau apa apa?". Tanya Aliya lagi semakin penasaran. Rahayu menggeleng dengan wajah ikutan bingung.

"Oh iya. Nih sekalian, nilai bahasa udah keluar".

"Hah?".

Rahayu memberikan selembar kertas kepada Aliya. Aliya fokus pada coretan pena merah membetuk angka delapan puluh. Lumayan setidaknya nilai bahasa Aliya tidak ngepas KKM.

"Nih sekalian punya Panji sama Cindy". Rahayu memberikan lagi dua lembar kertas yang sama pada Aliya.

"Ckckck. Memang ya si Panji itu dodolnya permanen, bahasa aja dapet lima puluh". Rahayu geleng kepala melihat nilai yang tertera di lembar kertas milik Panji. Aliya tersenyum kecil. "Bukan dodol. Lebih tepatnya bodoh nih anak. Hehe". Baik Aliya maupun Rahayu sama-sama tertawa.

"Yaudah gua duluan ya". Aliya menepuk bahu Rahayu pelan, lalu melambaykan tangannya sembari berucap 'bye'.

"Aliya!!". Teriak seorang wanita tepat di depan gerbang sekolah. Wanita itu wajahnya tertutup helm, membuat Aliya tidak dapat mengenalinya. Tapi ia tahu motor itu, motor yang wanita itu kendarai. Dan motor ituu.... motor Ayahnya. Nah loh, siapa tuh anak. Gak mungkin dong Ibu gua tiba-tiba bisa bawa motor. Batin Aliya.

Ia hampiri wanita itu.
Selangkah... dualangkah...semakin dekat. Aliya semakin penasaran. Jangan-jang nih orang gilak lagi, ih cekikikan gak jelas.

"Ini gua woy!". Wanita itu membuka hel, memperlihatkan wajahnya yang bulat dan chuby.

Aliya terkejut bahagia. "Sitii!!". Aliya berlari menghampiri Cintya Langsung ia peluk sepupunya itu erat-erat, begitupun dengan Cintya. "Cintya Al. Ih ntar kalo ada yang denger dikira nama gua Siti beneran". Ucapnya sambil terus memeluk erat Aliya. "Biarin aja. Itu kn panggilan kesayangann". Aliya melepas pelukannya, begitupun dengan Cintya.

INTUISI - Hati 'ku'. [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang