16 : Matahari

29 4 0
                                    

Motor vespa biru panji berhenti di sebuah rumah yang nampak telah lama tak dihuni. Rumah itu belum tua, bahkan masih kokoh berdiri hanya saja halaman rumahnya begitu kotor tak terawat. Daun-daun mangga yang kering nampak menumpuk terlihat tak disapu oleh sang pemiliknya. Aliya turun dari motor, berdiri terperangah menatap rumah dihadapannya itu. "Em.. ini rumah siapa?. Temen lo?". Menoleh panji yang terlihat membuka helmnya. Refleks aliyapun membuka helmnya meletakkan helm di atas jok motor. "Yuk". Panji menarik paksa tangan aliya. Aliyapun hanya dapat berjalan mengikuti langkah panji dari belakang.

"Apaan sih!". Bentak aliya menepis genggaman panji. Panji menoleh kebelakang, mendengus menatap aliya. "Gua itu bingung mau ngajak elo kemana. Gak mungkin kan gua ngajak lo ke kosan temen gua". Menaikkan sebelah alisnya bertanya. "Trus, lo milih ngajakin gua ke rumah kosong??. Gua mending balik aja dehh...". Ngeri, bulu kuduk aliya terasa merinding. Memang lebih baik ia buru-buru pulang. Lagian inipun sudah jamnya pulang sekolah.

Panji segera menarik kembali tangan aliya agar mengikuti langkahnya. Aliya mencoba menepis, namun genggaman panji terlalu kuat. Menariknya kebelakang rumah kosong itu. Dibelakang rumah itu ada tangga kayu yang berdiri menuju langsung keatas atap rumah yang sepertinya sengaja diberi sedikit ruang untuk menjemur pakaian atau apapun itu. "Lo mau naek duluan apa gua?".

Hah..

"Elo dulu aja". Ucap aliya bingung. "Ok". Panji mengangguk, mulai menaiki satu persatu anak tangga.

"Buru naik". Menoleh kebawah. Aliya menuruti, menaiki satu persatu anak tangga hingga sampailah ia diatap sana. Entah perasaan apa yang aliya rasakan saat itu, suasana disana berbeda. Tak pernah sebelumnya ia melihatnya, melihat dunia dari sudut yang berbeda. Angin terasa berhembus kencang, mataharipun nampak mulai jatuh tak lagi berada diatas kepala. Aliya tersenyum.

Disana terdapat dua buah kusi dan meja dari rotan yang sudah terlihat usang, tak jauh dari kursi dan meja itu. Terdapat sebuah kursi sofa biru yang juga tak kalah usang, namun kursi itu bernasib lebih baik karna berada teduh dibawah atap rumah yang menjuntai sedikit membuat kursi itu terlindung jika hujan turun. "Ini tempat apa?". Tanyanya menatap panji berjalan duduk di salah satu kursi rotan yang menghadap langsung kearah matahari terbenam. "Tempat gua kalo lagi pingin sendiri, atau sekedar ngobrol liat matahari senja sama seseorang".

Aliya berjalan mendekat. "Temen-temen lo?". Duduk di kursi sebelah panji. "Bukan".
Kening aliya berkerut tak paham. "Sodara lo?". Panji menggeleng.

Aliya mengangguk menanggaapi panji. "Ok lah, gua gak perlu tau".

Hening. Tak ada pembicaraan sama sekali, aliya nampak sibuk menatap suasana dari berbagai sudut diatap itu. Sementara panji sibuk dengan fikirannya.

"Disini tempat favorit gua sama amola". Ucap panji tiba-tiba.

Hah?. Aliya menoleh, menatap panji setengah melotot tajam. Tak paham, namun mencoba menyakinkan diri bahwa amola yang dimaksud bukan amola rastanti yang ia kenal. Aliya mengangguk berdehem, sengaja diam menunggu perkataan selanjutnya keluar dari mulut panji.

"Dulu gua sama amola selalu mandangin matahari terbenam dari sini".

"Ntar deh ntar, amola yang lo maksud bukan amola rastanti kan?". Potong aliya, membuat panji hanya terdiam sesaat. "Ya takutnya ntar gua salah paham lagi". Sambung aliya.

"Iya al, dia amola yang gua maksud".

Hah. Mata aliya melebar, setengah mati tak percaya dengan perkataan panji. Yakin pasti orang disampingnya ini sedang berbohong, apalagi ia paham betul panji memang tipe cowok yang suka bercanda. Pasti kali ini ia hanya berpura-pura ingin mengerjai aliya dengan dramanya. Seperti yang sudah-sudah. Aliya terkekeh. "Udah deh nji, gua udah gak mempan lo gituin".

INTUISI - Hati 'ku'. [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang