II

703 154 246
                                    

Saat aku membuka mata, cahaya terang sang mentari telah menerobos celah tirai jendela kamarku. Kudengar suara ibu dan kakakku sedang berbincang di meja makan.

"Mungkin mereka sedang sarapan," gumamku. Aku ingin beranjak namun kakiku masih terasa ngilu. Kuraih tongkat di samping ranjang dan berusaha menapakkan kakiku di lantai. Dengan bersusah payah akhirnya aku dapat berdiri dengan bantuan kedua tongkat. Aku berjalan gontai menuju sumber suara.

Saat aku membuka pintu kamar pemandangan yang pertama kali kulihat adalah ekspresi terkejut kakakku melihatku berjalan tertatih.

"Astaga Selene! di mana kursi rodamu? Mengapa kau nekat berjalan menggunakan tongkat itu? Jika kau terjatuh apa yang akan terjadi? Kau makin memperburuk keadaan kakimu tahu tidak?" ucapnya cemas. Dia menghampiriku dan dengan sigap langsung membopongku menuju meja makan.

"Sudah lah Elios, dia kemarin sudah bisa berjalan dari dapur ke ruang tamu menggunakan tongkat itu, dia sedang belajar berjalan, tak hanya duduk di kursi roda. Mengapa kau malah memarahinya?" jelas ibu sembari menyiapkan makanan untukku.

"Kau ini, bukannya mengucapkan selamat pagi atau apalah itu, selalu saja memarahiku," ucapku ketus.

Kulirik Elios, dia sudah berpakaian rapi dan sebentar lagi ia akan berangkat bekerja. Aku tahu dia mengkhawatirkan keadaanku, hanya saja memang ia tak bisa mengungkapkan rasa khawatirnya secara langsung. Ia selalu bersikap tegas agar aku tak terlalu bergantung kepadanya. Namun yang jelas aku tahu ia menyayangiku, semua itu terpancar dari sorot matanya setiap menatapku.

"Baiklah aku salah karena tak menemanimu kemarin hingga tak tahu kau sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Nanti sepertinya aku akan pulang telat lagi, jangan kau tunggu aku untuk mendongengkanmu. Tidur saja bila kau merasa mengantuk, mengerti?" ucapnya sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Aku mengerti, lagi pula siapa yang selalu menunggumu?"

"Sudah sudah, cepat kau habiskan sarapanmu itu Elios, nanti kau terlambat bekerja. Biar Ibu yang menemani adikmu. Selene, kau habiskan sarapanmu, selepas itu minum obat dan langsung mandi pagi, Ibu punya buku cerita baru untukmu." Ibu yang telah menghabiskan sarapannya dan sedang mencuci piring-piring kotor melerai kami.

"Aku sudah selesai, Bu. Aku berangkat." Elios meneguk air minumnya lalu menghampiri ibu untuk mencium tangannya.

"Dan kau, belajar yang benar. Jangan lupa ceritakan padaku apa saja yang telah kau lewati, jangan nakal dan merepotkan Ibu," ucapnya sambil mengusap lembut rambutku.

"Tentu saja aku tak akan merepotkan Ibu, memangnya kau. Sudah sana cepat pergi."

Aku melanjutkan sarapan dan mengabaikan kepergiannya.

**

"Bu, aku sudah selesai membaca dan menulis semua itu. Bahkan cerita yang Ibu berikan tadi sudah aku salin dalam bukuku sendiri. Apa Ibu punya cerita yang lain?" tanyaku kepada ibu yang sedang menjahit di ruang tengah. Ibu tetap fokus dengan jahitannya tanpa menghiraukan keberadaanku.

"Benarkah? Tapi Ibu sudah tak punya cerita baru untukmu Selene, apa kau suka dengan cerita tadi hingga kau menyalinnya di bukumu?"

"Tentu aku menyukainya Bu, mereka bahagia akhirnya. Apakah semua cerita akan berakhir bahagia?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya.

"Bukankah itu yang kau harapkan? Semua cerita akan berakhir bahagia. Bahkan jika belum menemukan bahagia cerita itu belum lah berakhir," jelas ibu seraya menatapku lembut.

"Pergilah ke kamar kakakmu. Cari buku yang ingin kau baca di rak bukunya, mungkin ia menyimpan beberapa komik atau buku cerita di antara buku-buku tebalnya. Ibu sedang menyelesaikan jahitan dan tak bisa menemanimu bermain hari ini."

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang