XXIV

155 36 135
                                    

Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika aku dan Altair memulai perjalanan untuk pulang ke rumah. Setelah dinyalakannya mesin mobil oleh Altair, kendaraan roda empat itu mulai bergerak menjauh dari rumah sakit tempat pujaan hatiku berada. Mobil yang kami tumpangi terus melaju melalui jalanan sepi. Aku hanya terdiam tak memulai perbincangan dengan kakak kandungku itu, lagipula ia sedang fokus mengemudi jadi aku tak enak hati jika mengganggunya.

Namun sebenarnya meski ragaku berada di dekat Altair pikiranku entah berada di mana rimbanya, beribu macam pikiran mengusik benakku. Aku memikirkan bagaimana caranya aku bisa tinggal bersama ayah dan bundaku tanpa diganggu oleh ibu tiriku, namun sepertinya sangat sulit untuk bisa membuat ayah dan bunda bersatu kembali. Aku teringat hangat pelukan bunda dan ingin sekali merasakannya lagi. Tapi entah apa yang harus kukatakan jika bertemu dengannya nanti, apa aku harus mengagetkannya dengan memanggilnya bunda atau memang bunda sudah tahu bahwa ingatanku telah kembali?

"Selene, mengapa kau hanya diam saja? Apa kau sudah mengantuk?"

Aku menoleh melihat wajah si pemanggil namaku tadi, "Ah tidak, aku belum mengantuk Altair. Bolehkah aku mengatakan sesuatu kepadamu?"

"Apa? Apa yang ingin kau katakan?"

"Apa boleh aku memanggilmu Dokter Darrell atau Darrell saja lah, sepertinya aku belum terbiasa memanggilmu Altair." Aku menatapnya lekat-lekat lalu menampilkan seulas senyum di bibirku.

"Untuk apa kau meminta ijinku? Bukankah biasanya kau yang mengubah-ubah nama panggilanku? Biasanya kau memanggilku Darrell, Arrel, Hubert, Altair, Tata. Sebenarnya aku lebih senang di panggil Darrell daripada Altair. Mendengar nama Altair aku selalu diingatkan dengan kejadian saat Ayah mengusirku, memisahkan aku dan kau," ucap Altair sesekali melihat ke arahku lalu kembali fokus mengemudi.

Ah begitu rupanya, baiklah mulai sekarang aku tak akan memanggilnya Altair lagi.

Kupandangi wajah Darrell dari tempat dudukku. Meski ia laki-laki, ia terlihat cantik. Wajah cantik bunda menurun kepadanya, sangat berbeda denganku yang lebih mirip Ayah. Seketika teringat bayangan masa kecilku saat menggodanya dengan sebutan Kakak Tata cantik. Aku tersenyum mengingat kejadian itu, masa-masa bahagia keluargaku sebelum wanita ular bernama Hera datang menghancurkannya.

Merasa diperhatikan, Darrell menoleh kepadaku dan menatapku dengan tatapan penasaran.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ada. Ah ya, sebenarnya kejadian itu hadir dalam mimpi burukku sebelum aku mengunjungi rumahmu. Aku ingin bercerita kepadamu namun melihat kondisimu saat itu kuurungkan lagi niatku. Lagi pula aku masih ragu dengan mimpi itu, karena saat aku melihat fotoku di dalam kamarmu kau dengan sangat yakin mengatakan bahwa aku adalah adik Elios."

"Maafkan aku Selene karena membohongimu. Namun sebenarnya waktu itu aku sangat senang melihatmu bersama Bunda. Bunda selalu ingin bersamamu, namun Ayah selalu melarang Bunda mendekatimu."

Aku mengangguk mencoba mengerti, aku tahu yang mereka lakukan memiliki tujuan untuk melindungiku. Aku bersyukur memiliki orang-orang baik seperti mereka yang berada di sekitarku.

"Mengapa Gavin waktu itu memukulimu?"

"Darimana kau tahu Gavin yang melakukannya?"

"Elios yang mengatakannya kepadaku. Lagi pula Tante Areta juga bercerita kau pernah beradu mulut dengannya saat berkunjung ke rumah Ayah."

"Ah begitu rupanya, tentu saja karena dia menginginkamu. Tapi aku melarangnya, kurasa sikapnya terlalu kekanakan. Aku heran bagaimana kau sampai yakin menjadikannya calon suamimu."

"Aku akan membatalkan tunangan itu. Lagi pula aku sudah memiliki Elios sekarang, seseorang yang lebih baik untukku." Aku tersenyum, ada getaran kecil di hatiku setiap kali kuucapkan nama Elios.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang