XIV

176 44 85
                                    

Jika mereka bahkan berusaha mati-matian untuk melupakan masa lalu, mengapa aku harus bersikeras mengingatnya?

Aku baru saja sampai di sebuah tempat makan untuk menepati jadwal makan siangku. Ibu mengatakan bahwa ibu menitipkanku kepada Ica, oleh sebab itu Ica sangat menjagaku dan bersikeras untuk makan siang terlebih dulu seusai menemukan buku yang ia cari di toko buku tadi. Kami memilih meja yang agak dekat dengan jendela, aku duduk berhadapan dengan Ica dan meghadap ke luar hingga aku bisa melihat lalu lalang para pengguna jalan.

Setelah menunjukan menu apa yang aku pilih kini giliran Ica yang memilih menu untuk makan siangnya. Sementara ia membolak-balikan buku menu, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi kuabaikan di dalam tas kecilku.

Betapa terkejutnya aku, saat kugulir layar ponselku terlihat 15 pesan dan 28 panggilan tak terjawab yang berasal dari satu nomor. Siapa lagi jika bukan Elios. Belum sempat kubuka pesan-pesan itu tiba-tiba Elios menelponku kembali, sayangnya batrai ponselku lemah. Aku lupa mengisinya tadi pagi.

Aish, aku bahkan baru pergi beberapa jam dan tidak menghubunginya. Mengapa ia seheboh itu?

Seketika aku teringat dengan ucapan Elios tadi pagi, ia mengatakan bahwa aku tidak boleh terlalu percaya dengan orang yang baru kukenal, tapi apakah setidak percaya itu Elios kepada Ica sampai-sampai ia menelponku terus begini.

Melihat kelakuan Elios yang seperti ini membuatku bimbang antara memilih pulang atau melanjutkan kegiatanku bersama Ica. Namun, melihat Ica yang selalu tersenyum kepadaku membuatku ingin terus bersamanya. Aku tak sampai hati meningglkannya sendirian.

"Kau kenapa Selene? Apa yang terjadi?" Ica mengalihkan pandangan dari layar ponselnya dan melihatku yang sedari tadi duduk dengan gusar.

"Tak apa, hanya saja ponselku mati, batrainya habis. Elios mengirimkan banyak pesan dan belum kubaca. Entah apa yang sedang terjadi dengannya ia menelponku berkali–kali dan sayangnya tak ada yang sempat terjawab olehku."

"Apa kau mau menghubunginya? Pakai saja ponselku." Ica mengulurkan tangannya dan menyodorkan benda pipih itu kepadaku, namun aku menolaknya secara halus. Lagi pula aku tak hapal nomor Elios, bagaimana bisa aku menghubunginya?

"Aku tak hapal nomornya, biarkan saja. Ia mungkin hanya ingin mengingatkanku agar tak lupa makan siang."

"Apa ia selalu bersikap begitu Selene?"

"Maksudmu begitu bagaimana?" Aku memiringkan kepalaku dan menatapnya lekat–lekat mencoba memahami pertanyaaan Ica barusan.

"Apakah Elios selalu menelponmu berkali–kali hanya untuk mengigatkanmu makan siang?"

Aku terdiam memikirkan jawaban atas pertanyaan Ica, sebenarnya memang itu yang dilakukan Elios jika aku tak menjawab panggilannya. Kuingat–ingat bahkan beberapa hari terakhir ia sempat mengomeliku ketika teledor meletakan ponsel sembarangan.

"Memang begitulah kebiasaannya Ica. Sudah kukatakan padamu dia itu sangat menyebalkan."

Tak kusangka respon Ica hanya tersenyum tipis, seperti ada sesuatu yang akan ia ucapkan namun ia tahan. Andai saja aku bisa membaca pikiran seseorang. Aku ingin mengetahui sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan.

Beberapa saat terjadi keheningan diantara kami. Ica sibuk dengan ponselnya sedangkan aku sibuk dengan novel yang baru saja kubeli. Makanan yang kami pesan tak kunjung datang, padahal cacing dalam perutku serasa sedang berujuk rasa meminta jatah makan siangnya.

"Selene." Ica memanggilku pelan namun cukup mengagetkanku. Aku yang sedang menatap barisan huruf di lembaran buku yang sedang kupegang beralih melihat kearahnya. Kututup buku itu dan kuletakan di meja.

Praeteritum aut Futurum?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang